Usaha Ana membuahkan hasil yang di harapkan. Ana lulus seleksi dan diterima di kampus. Mengambil jurusan pendidikan Matematika, Ana ingin menggapai cita-citanya untuk terus menyebarkan ilmu yang ia miliki.
Semua berjalan lancar. Orientasi kampus tak memberi masalah untuk Ana. Tidak seperti orientasi saat SMA. Ana cukup dewasa sekarang, tak perlu mendebat hal-hal sepele yang tak cocok di hatinya.
Namun ternyata, ada yang khawatir Ana melakukan hal yang sama di kampus.
Diam-diam Restu minta tolong pada Damar untuk mengawasi Ana saat orientasi. Khawatir Ana dapat masalah dari sikap beraninya.
Ana juga masih bekerja di kedai sepulang kuliah. Namun, perlahan pertemuan dirinya dengan teman-temannya mulai berkurang, semuanya mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Bahkan terkadang ia bertemu Zara saat di rumah. Zara mulai punya cerita baru di kampusnya.
Meski begitu masih ada yang setia, menyempatkan waktu bertemu Ana di tengah kesibukannya.
“Besok kamu ada kelas pagi, kan, An?” tanya Damar saat Ana mengantarkan kopi pesanannya.
Ana mengangguk.
“Bareng aku aja.”
“Ga usah, aku berangkat naik angkutan umum aja.”
“Oh, gitu. Oke, deh. Ketemu di kampus, ya.”
Ana meninggalkan keduanya setelah melempar senyum pada kedua seniornya.
Damar melirik Restu yang tak bicara sama sekali.
“Ga usah cemburu. Aku ga tertarik sama Ana.”
Mata Restu sontak melotot. Tapi Damar justru terekeh melihat tingkah Restu.
***
Semangat Ana tak pernah surut setiap harinya. Pagi berangkat kuliah, masih sama seperti dulu, ia rajin mengunjungi perpustakaan. Menggunakan waktu sebaik-baiknya, untuk belajar atau mengerjakan tugas. Bedanya, kali ini Ana pergi ke perpustakaan bersama temannya.
Ana bukan lagi Ana si anak putih abu-abu. Ia lebih bijak sekarang. Cerita sebelumnya telah merubah sebagian pola pikirnya.
***
Angin beserta awan mendung menerpa jilbab Ana, membuat Ana harus memeganginya. Sejak tes seleksi, Ana mantab berjilbab. Awalnya karena terlanjur berjilbab saat tes, tapi hari ke hari Ana mulai nyaman dan terbiasa. Jangan tanya respon Wiyan dan Kinanti. Mereka sibuk memuji Ana dengan tampilan barunya yang lebih manis menurut mereka.
Rintik hujan perlahan turun. Ana sedikit berlari menuju halte. Ana berharap angkutan umum jurusannya segera datang sebelum hujan semakin deras.
Sayangnya, itu hanya harapan. Hujan semakin deras dan angkutan umum yang ditunggunya tak kunjung datang.
Tak masalah, ia pulang lebih cepat hari ini. Jam kerjanya di kedai kopi masih satu jam lagi.
Ana menyukai rinai hujan di kota ini. Udara dingin dan rintik hujan seakan harmonis menciptakan suasana syahdu.
“Ana.”
Ana tersenyum begitu melihat Restu yang buru-buru turun dari motornya.
“Bukan mau jemput aku, kan?”
Restu menggeleng.
“Saya mau bertemu Damar.”
“Sudah?”
“Belum. Ponselnya ga aktif.”