Satu tahun berlalu.
Ana dan yang lain semakin jarang bertemu. Namun mereka masih menyempatkan diri untuk berkumpul di kedai. Tahun ini adalah tahun terakhir Wiyan di SMA. Anak itu tumbuh mengesankan selama di sekolah. Dia benar-benar serius soal geng pembela kebenaran. Ia mempraktikan apa yang ia lihat dari Ana. Perundungan mungkin akan selalu ada. Senioritas jadi faktor utama.
Wiyan mulai berani melawan saat seniornya merundung. Dan menakjubkannya, dia juga membantu orang lain yang dirundung. Meski tentu saja ia harus menerima pengeroyokan. Mirip seperti Ana yang dikeroyok Dessy Cs.
Ana dan yang lain sepakat hadir di acara perpisahan Wiyan. Sebagai hadiah, Ana punya ide membuat sebuah buket dengan foto-foto Wiyan bersamanya dengan diselipi beberapa jenis bunga kering yang cantik.
“Ana, buketnya cantik banget,” seru Zara saat Ana selesai dengan buketnya.
“Nanti, kalau kamu lulus, aku buatin juga. Makanya, banyakin foto sama aku,” ujar Ana bergurau.
Esok harinya, Ana dan Zara berangkat ke sekolah dan janjian bertemu Kinanti di sana.
Wiyan berseru bahagia melihat sahabat-sahabatnya datang di acara pentingnya. Sudah lama juga mereka bertemu di sekolah.
Apalagi melihat buket yang dibawa Ana. Matanya basah melihat foto-foto dirinya bersama yang lain.
Perubahan juga terjadi pada diri Zara. Gadis ini mulai pandai merawat tubuh. Tubuhnya masih tinggi besar, tapi wajahnya mulai terawat. Bersih tanpa jerawat. Tidak dipungkiri, hal itu membuat kepercayaan dirinya tinggi di kampus.
Lalu Kinanti, dia semakin tumbuh menjadi gadis yang menawan, percaya diri dan seperti sebelumnya, ia memang pandai bergaul. Buat Ana, Kinanti itu perempuan sempurna.
Tahun ini juga ada yang lulus dari kampusnya. Tiga bulan setelah kelulusan Wiyan, Restu menyusul wisuda kuliah.
Ana kembali membuat buket dengan foto Restu. Setelah membuat buket untuk Wiyan, Ana memang berencana untuk membuat buket yang sama untuk Restu. Diam-diam, ia pernah memotret Restu lewat ponselnya yang kualitas kameranya tidak terlalu bagus. Tapi menurut Ana, ekspresi wajah Restu yang khas bisa tergambar di sana. Juga foto yang ia minta dari Wiyan. Tak lupa ia selipkan ucapan selamat atas kelulusan Restu Aksara Yudha.
Bedanya, kali ini Zara dan Kinanti tak bisa menemani. Keduanya ada punya kegiatan di kampus masing-masing.
Ana datang sendiri, bermodal kabar dari Wiyan. Matanya mengitari lokasi yang Wiyan katakan lewat pesan. Tak lama, ia berhasil melihat Wiyan yang sedari tadi menunggunya.
Wiyan melambaikan tangan dengan sebuah kamera digital di tangannya.
“Wah, Kak Restu dapat buket juga?” goda Wiyan.
“Ya, semua akan dapat buket pada waktunya,” Ana menjawab dengan santai.
Beberapa saat Ana bicara dengan Wiyan, menanyakan akan melanjutkan kuliah dimana, mengambil jurusan apa.
Tak lama, para wisudawan keluar dari dalam gedung. Sepertinya acara sudah selesai. Ana dan Wiyan beranjak bangun, menyambut kedatangan Restu. Sebelum Restu, orang tua Wiyan yang mendampingi di dalam lebih dulu keluar. Wiyan melambaikan tangannya sambil berjalan ke arah mereka.
“Ana? Kamu sendirian?” tanya Ibunya Wiyan dengan mata yang merah. Sepertinya ia menangis di dalam.
“Iya, Tante. Yang lain ada kegiatan di kampus.”
Seperti saat pertama bertemu, ekspresi wajah ayahnya Wiyan tetap sama. Mirip dengan Restu.
Ana mengangguk sopan ke arah ayahnya Wiyan.