Ada kabar bahagia datang dari Hesti. Gadis berumur seperempat abad ini sedang di landa asmara. Bukan asmara macam anak ABG, tapi sebuah jenjang yang lebih serius.
Malam itu, Hesti mengajak Zara dan Ana bicara selepas pulang dari kedai. Mereka tahu ada hal penting yang akan disampaikan. Ekspresi Hesti yang menunjukan itu.
“Zara, Ana … aku mau bicara.”
Zara mengerutkan alis, sudah dua kali Hesti bilang mau bicara, tapi belum juga bicara maksudnya memanggil Ana dan Zara.
“Kenapa, sih?”
Zara terlihat tidak sabar ingin tahu isi pembicaraan malam ini.
“Ehm, itu … aku … aku … dilamar sama Mas Wisnu.”
Mata Zara dan Ana membulat tak percaya. Selama ini mereka tak pernah mendengar atau melihat ada pria yang dekat dengan Hesti.
“Dia … supplier kopi di kota. Kami sering bertemu, jika aku sedang membeli k opi.”
Ana dan Zara masih tak berkomentar.
“Mas Wisnu ingin segera melamar aku. Menurut kalian gimana?”
Ana merasa harus menunggu jawaban dari Zara. Dia yang lebih berhak menjawab.
Beberapa detik tak ada jawaban dari Zara.
“Kamu ga setuju, Zara?” tanya Hesti meyakinkan.
“Mana ada!” tegasnya. “Aku sangat setuju. Sebenarnya, aku sempat khawatir selama ini aku ga pernah liat Kak Hesti dekat sama pria.”
Hesti tersenyum malu-malu.
“Ya, prinsif dari awal aku, kan, memang ingin langsung menikah. Aku sedikit tahu soal Mas Wisnu dari teman-teman dekatnya. Jadi … aku merasa yakin untuk menerima lamaranya. Gimana?”