Setahun lagi berlalu tak terasa. Tahun ini ada Damar yang di wisuda. Ana tak membuat buket untuk Damar. Pertama, ia merasa tak perlu membuatnya. Entahlah, posisi Restu dan Damar terasa berbeda di hati Ana. Tapi ia enggan bilang hubungannya dengan Restu lebih istimewa dari yang lain. Yang kedua, pesanan buketnya makin bertambah. Tren buket dengan foto itu mulai merebak. Meski mulai banyak yang mengikuti jejak Ana dalam membuat buket foto, nyatanya rezeki sudah tertakar rapi di catatan Sang Pemilik Semesta. Masih banyak yang mempercayakan kado istimewanya pada Ana.
Namun, seiring banyaknya pesanan yang diterima, Ana harus mulai pandai-pandai membagi waktu. Jadwal magangnya sudah terdaftar. Tak sulit mendapat sekolah untuk tempatnya magang. Tentu saja ia memilih sekolahnya dulu, di sana ada Restu yang jadi guru Bahasa Indonesia. Mudah saja Ana masuk. Prosedur tetap dijalankan, namun tak perlu dipersulit. Kepala sekolah yang dulu bermasalah dengannya juga sudah lengser.
Tantangan baru untuk Ana.
Petang ini, wajah Ana terlihat lesu setelah keluar dari kelasnya. Takdir berbaik hati mempertemukan Ana dan Restu di lorong kelas. Ia juga baru selesai. Tapi berbeda dengan Ana, wajah Restu lebih cerah.
“Pasti hari ini Raka bikin ulah lagi?” tebak Restu setelah menyapa Ana.
Ana mengangguk lesu.
“Ternyata jadi guru itu punya beban moral tersendiri, ya,” ucapnya lesu.
Restu mengerutkan alisnya kemudian mengangguk.
“Kenapa anak-anak sulit suka sama matematika? Padahal menyenangkan banget,” gerutu Ana.
Restu tersenyum melihat wajah mungil itu menggerutu kesal.
“Aku udah berusaha sefriendly mungkin sama mereka, tapi tetap aja mereka sulit suka sama matematika. Bahkan tadi, Raka sengaja tidur waktu pelajaran aku.” Kini wajah kesal itu berubah jadi sendu.
Sebenarnya, Restu juga pernah mengalami hal itu di awal mengajar. Tapi Restu tak terlalu ambil pusing. Ia memilih untuk lebih tegas. Tegas versi Restu itu mengintimidasi lewat tatapan. Ia malas meninggikan suara untuk memarahi anak-anak. Baginya itu hanya menguras tenaga.
“Hmm … menurut saya, kamu boleh dekat dengan anak-anak, tapi tetap mereka perlu penegasan. Kalau kamu terlalu kendor, ya, mereka akan ngelunjak. Itu menurut saya.”
“Kalau aku galak, mereka akan makin segan sama matematika,” bantah Ana.
Ana menghela nafas. Memulai langkah yang sempat terhenti karena sebuah curahan hati.
“Padahal matematika itu pelajaran yang pasti. Hasilnya selalu pasti, ga ada jawaban mungkin. Kenapa mereka ga suka?”
“Hei, kalau soal suka, itu ga bisa dipaksakan. Memangnya kamu mau kalau dipaksa suka sama Biologi?”
“Aku suka semua pelajaran.” Ana tak mau kalah.
Restu tersenyum, tahu betul bagaimana watak perempuan mungil di hadapannya yang jarang sekali mau mengalah.