Kedatangan Kelana memang hal mengejutkan bagi Ana. Di awal perpisahan, Ana masih sering memutar kenangannya bersama Kelana. Saat ia menyadari perasaan itu hadir di hatinya, semua momen bersama Kelana terasa istimewa dalam pikirannya. Susu kotak dan roti yang diberikan Kelana bukan lagi dipandang sebagai sesajen kuncen perpustakaan. Susu kotak dan roti itu terasa sebagai bentuk perhatian Kelana sekarang. Ucapan Kelana soal keinginannya agar Ana punya teman lain di sekolah, punya kenangan saat meninggalkan sekolah, makin terasa dalam di hatinya.
Kali ini kenangan itu kembali muncul. Berputar-putar di benak Ana berulang kali. Semua yang sempat dilupakan kembali menguar di otaknya. Bahkan senyum Kelana menempel di otaknya sekarang.
Tapi kemudian, ingatan tentang perpisahannya dengan Kelana juga diputar kembali. Menimbulkan pertanyaan. Kenapa dia masih berani bilang masih suka saat jarak dan waktu memisahkan tanpa sepucuk kabar, meski lewat selembar kertas dari tukang pos?
Benarkah perasaan itu masih sama?
Hari ini Ana banyak menghela nafas. Otaknya berusaha menjegal ingatan tentang Kelana dan perasaan aneh ini agar tak masuk dalam kegiatan mengajarnya hari ini. Susah payah semalaman ia bergelut membuat persiapan pembelajaran agar tak ada lagi anak yang tidur saat kelasnya berlangsung.
Ana berhasil melewati kelasnya hari ini, tak ada yang tidur di kelasnya. Ia belajar memasang wajah datar dengan sorot mata tajam saat matanya bersitatap dengan Raka, murid yang kerap tidur atau memprovokasi teman lainnya untuk berseru malas mengerjakan tugas matematika yang menurutnya sulit. Ana mengimplementasikan saran dari Restu untuk lebih tegas pada anak didiknya.
Nyaris setiap jadwal Ana mengajar, Tuhan menggariskan Ana bertemu Restu. Biasanya, Restu akan terlihat cerah jika bertemu Ana. Tapi kali ini ada yang berbeda darinya.
“Sudah selesai?” kali ini Ana yang bertanya lebih dulu.
“Iya.”
Terhenti. Ana juga heran dengan percakapan yang berlangsung singkat ini. Singkat seklai.
“Kak Restu mau langsung pulang?”
“Iya. Kamu mau bareng?”
Praktis Restu mendesis dalam hatinya. Ia menghardik mulut yang ringan saja menawarkan. Padahal setelah kedatangan Kelana, hatinya mendadak menciut. Ia sempat tahu kisah keduanya di sekolah.
“Eh? Ga usah. Itu … tadi aku diledekin anak-anak, masa. Gara-gara ada yang lihat Kak Restu bonceng aku.”
“Oh, bukan karena yang lain?”
“Yang lain, apa?”
Ana berusaha biasa saja. Sebenarnya ia memang punya alasan lain. Yang baru ia sadari belakangan ini.
Restu hanya mengangkat bahu.
“Ga ada. Pure demi menjaga nama baik kita berdua di sekolah.”
Keduanya meneruskan langkah menuju kantor. Namun, belum sampai kantor, sosok yang beberapa hari lalu membayangi Ana muncul. Dengan langkah tegap, garis senyum yang manis, kemeja yang lengannya di gulung, sempurna menuju ke arahnya.
“Ana,” serunya. “Kak Restu, apa kabar?”
Restu hanya menjawab dengan senyum dan anggukan kecil.
“Kebetulan banget ketemu di sini, aku baru ketemu kepala sekolah tadi.”
Ana hanya ber-oh.