Jika ditanya bagaimana perasaan Ana sekarang, ia terlalu kaget. Pertemuan dengan Kelana baru satu minggu. Satu minggu tak memberinya jeda untuk berpikir menetralkan hati. Ia masih terkejut dengan kedatangan Kelana, membuat kenangan masa lalu muncul, berkelibat di antara kesibukannya. Lalu, tanpa aba-aba, Kelana kembali menyatakan perasaan. Katanya perasaan ini bukan lagi perasaan anak SMA yang sedang jatuh cinta. Tapi perasaan serius seorang pria dewasa.
Pria dewasa? Kelana bahkan baru berusia dua puluh tiga tahun, dan dia menyebut dirinya pria dewasa.
Kelana membuat Ana semakin aneh. Ia tak bisa menghilangkan pernyataan itu meski Raka berulah lagi hari ini. Ia tak lagi memakai jurus tatapan datar mirip Restu. Ia membiarkan Raka tidur di bangku paling belakang. Bahkan kali ini ia tak menyadari sudah melewati kelas Restu. Membuatnya tak berjumpa dengan Restu hari ini.
Parahnya lagi, ia melupakan dua pesanan buket yang harus ia selesaikan malam ini. Di tambah bahan-bahan untuk membuat buketnya habis. Bergegas Ana pergi ke tempat fotokopi langganannya. Ia harus mencetak foto sekaligus membeli bahan untuk membuat buket.
Kepalanya terasa berat. Mungkin karena tadi pagi ia tak sempat sarapan, perut dan kepalanya kompak terasa nyeri. Ana berfikir untuk tidur sejenak setelah makan siang rapelan dengan sarapan, lalu minum obat pereda nyeri.
Namun, ia terlalu lelap tidur. Entah efek obat atau memang ia terlalu ngantuk karena semalaman ia sulit tidur. Pernyataan Kelana lagi-lagi membuatnya merasakan perasaan aneh.
Ana terlambat ke kedai.
Zara yang saat itu sudah ada di kedai menatap Ana sedikit cemas.
“Kamu ga apa-apa?” tanya Zara yang melihat wajah Ana sedikit pucat.
“Ga apa-apa. Aku kebablasan tidur tadi. Maaf, ya.”
Ana bergegas mengenakan celemek khas kedai. Semenjak Hesti punya keluarga kecil dengan member baru – anak Hesti dan Wisnu – Zara jadi lebih sering mengunjungi kedai. Ia diberi tugas menghandle keuangan kedai.
Sayangnya obat yang Ana minum tak membuatnya kehilangan rasa nyeri di kepalanya. Namun, Ana cukup pprofesional. Ia tetap bekerja meski sesekali duduk untuk memijit kepalanya.
“An, kamu yakin ga apa-apa? Kamu pucat, loh.” Zara menghampiri Ana dengan segelas teh hangat.
Ana menerima gelas teh dari Zara. Ia rasa segelas teh hangat mampu mengurangi rasa nyeri di kepalanya.
“Aku kurang tidur, Zara,” jawab Ana setelah meneguk teh hangat.
“Mikirin Kak Lana?”
Ana meneguk lagi teh hangatnya. Kemudian mencari arah pandang lain.
“An … kamu masih menyukai Kak Lana?”
Pertanyaan yang sama seperti yang Kinanti tanyakan saat pertama kali Kelana muncul di hadapan Ana. Pertanyaan yang bahkan Ana sendiri masih menimbangnya.
“Aku ga ngerti, Zar. Dari dulu aku ga ahli soal begini. Aku bingung sama perasaan aku sendiri.”
“Kalau masih suka jangan nyangkal. Kamu sama Kinanti ga akan berantem lagi, kan?”