Ada rasa haru dalam hati Ana. Entah ia ada di mana sekarang, tapi semua keluarganya berkumpul harmonis. Berkumpul saling bergurau di sofa keluarga yang dulu sangat ia kenal. Ayahnya dengan senyuman bijak menggoda Abim yang ketahuan mendapat nilai jelek di sekolahnya. Sementara Ana sibuk memamerkan nilai ujian yang memuaskan. Ibunya dengan wajah cerah dan badan yang bugar datang membawa nampan berisi risoles hangat yang aromanya menguar di ruangan.
Ana merasakan bahagia itu, namun secara bersamaan hatinya bersedih. Seakan menyadari kalau ini hanya mimpi.
Air mata menetes saat Ana menyadari semua yang terasa indah itu sudah tak mungkin dirasakan lagi. Ayahnya sudah lama pergi. Ibunya pergi untuk selamanya. Dan Abim, masih mendekam di penjara. Seketika hatinya berdenyut nyeri. Perjuangan hidup setelah semua orang yang dulu memberinya rasa bahagia pergi, terasa menyeruak dalam hati dan tubuhnya.
“Ana …”
Sebuah seruan membuat Ana menyadari kalau ia harus bangun dari rasa sendu ini. Ia harus kembali pada kehidupan nyata. Hidup dalam buaian mimpi ini pun tetap menyakitkan.
“Ana …”
Seruan itu semakin terdengar khawatir.
Perlahan Ana membuka matanya. Rasa nyeri di kepalanya masih terasa.
“An … sudah lebih baik?”
Senyum yang tak pernah berubah itu sedikit berubah sekarang. Sedikit sendu karena khawatir melihat dia yang dicintai terkulai lemah dengan wajah pucat.
“Kak Lana?” Ana terkesiap. Memaksa tubuhnya untuk bangun seketika. “Kok, Kak Lana …?”
“Tadi kamu pingsan saat aku ke kedai. Jadi … aku bawa kamu ke Rumah Sakit.”
Ana beristigfar kecil. Ia ingat tadi ia masih memaksa tubuhnya untuk bekerja. Ini akibat yang harus ia terima karena ngeyel, meski Restu sudah memperingati.
Kak Restu? Tadi dia ada di kedai, kan? Batin Ana.
“Aku haru pulang,” ucap Ana beranjak bangun.
“Eh, jangan. Kamu harus dirawat, An.”
Ana melihat selang infus yang terpasang di punggung tangannya.
“Kalau kamu sudah fit, kamu bisa pulang.”
Ana menghela nafas. Tubuhnya memang terasa masih lemas. Di tambah rasa nyeri dan demam yang ia rasakan.
“Kamu perlu apa? Biar aku carikan.”
Ana hanya menggeleng. Ia membetulkan posisi duduknya.
“Kamu kecapean, An. Kamu harus banyak istirahat.”