Pagi-pagi Kelana sudah memastikan Ana makan dengan benar. Menunggui Ana yang sedang makan bersama Zara. Kelana membelikan dua porsi bubur ayam untuk Zara dan Ana. Meski sebenarnya, Ana sudah dapat jatah sarapan dari rumah sakit.
“Kamu mau bubur juga, An?” tanya Kelana.
“Aku udah kenyang. Ga apa-apa, kan?” kata Ana tak enak hati menolak makanan yang dibawa Kelana.
“Ga apa-apa. Aku khawatir makanan rumah sakit ga cocok di lidah kamu. Makanya aku belikan kamu juga.”
Sementara, orang ketiga diantara Kelana ada Ana berusaha tak memperdulikan kebucinan Kelana pada Ana. Ia asik mengunyah bubur ayam komplit yang cocok di lidahnya.
Hingga siang, Kelana masih setia di sana. Sesekali keluar untuk membersihkan diri, atau menerima telepon. Kantornya bisa ditinggalkan, tapi pekerjaannya tidak. Ana menyadari itu.
“Kak Lana, kayaknya sibuk, ya? Ga apa-apa, kok, aku sama Zara aja. Zara sangat bisa diandalkan.”
Yang disebut namanya mengangguk yakin.
“Ga. Aku ga sibuk.”
“Memangnya Kak Lana ga dicariin?” tanya Zara menyela.
“Dicariin siapa? Aku sudah dewasa, Zara. Aku boleh melakukan apapun yang aku mau.”
Zara hanya ber-oh.
Tiba-tiba pintu kamar rawat Ana terbuka dengan sebuah salam yang terdengar cemas. Wiyan datang sendiri tanpa ditemani Restu.
“Kak Ana …” seru Wiyan langsung menghampiri Ana.
“Sendirian, Wi?” tanya Zara.
Wiyan hanya mengangguk sambil meletakan buah tangan di nakas.
“Kak Restu lagi menyibukan diri sama bukunya.”
Ana menelan ludah. Ada yang terasa janggal saat mendengar Restu tak datang saat tahu Ana sakit. Jelas-jelas Restu ada di kedai saat Ana pingsan.
Ana masih dengan pertanyaan yang ia simpan sendiri tentang Restu, saat pintu kamarnya kembali dibuka. Kali ini Kinanti yang datang. Ia mengucap salam dengan suara yang lebih riang dibanding Wiyan tadi.
“Loh, Kak Lana? Ada di sini juga?”
Yang ditanya mengangguk saja.
“Dari kemarin,” kata Zara menjelaskan.
Kinanti sedikit terkesiap, tapi ekspresi Wiyan berbeda. Ia terlihat kecewa mendengar Kelana menemani Ana sejak kemarin. Kini ia mengerti kenapa kakaknya pulang dengan wajah sendu. Mengabari Ana pingsan di kedai, tapi ia tak mengantarnya ke rumah sakit.
Kedatangan Kinanti membuat suasana lebih cair. Ia pandai mengambil topik yang jauh dari kegelisahan hati Ana. Hingga sebuah telepon membuat Kelana harus menjawabnya di luar kamar Ana.
“An, kayaknya dia tergila-gila sama kamu. Kamu pakai pelet apa?” tanya Kinanti bergurau.
“Gimana rasanya dicintai pria segila itu, An?” tambah Zara.
“Kalian jangan berlebihan. Kak Lana memang begitu dari dulu, kan?” Ana mengelak.