Ana merasa lega karena ia bisa keluar dari rumah sakit. Tapi masih ada yang membuatnya tak enak hati. Saat Ana minta tolong pada Zara untuk memeriksa administrasinya, seluruh biaya rumah sakit sudah dibayarkan oleh Kelana.
Berulang kali Ana berusaha mengganti biaya rumah sakit, Kelana tetap menolak. Bahkan Ana sengaja menyelipkan amplop berisi uang saat Kelana datang ke rumahnya. Memastikan Ana benar-benar sudah sehat.
“Ana, tolong jangan bersikap begini. Aku benar-benar tersinggung dengan sikap kamu ini.”
“Tapi, biaya rumah sakitnya pasti mahal. Aku ga bisa begitu aja menerima kebaikan Kak Lana yang berlebih ini.”
Kelana menyeruput es teh manis yang Ana buat untuknya.
“Nggak … ini ga berlebihan. Kamu tenang aja. Aku ga akan menjadikan ini kartu supaya kamu mau menerima pernyataan aku.”
Ana salah tingkah saat Kelana kembali mengingatkannya soal pernyataan itu.
“Ehm, soal itu … aku …”
“Ga usah buru-buru,” sela Kelana. “Aku ga berniat mengingatkan kamu soal pernyataan itu. Aku cuma khawatir kamu terbebani lagi hanya karena soal uang. Semua yang aku lakukan, pure karena aku menyukai kamu, An. Bukan supaya kamu mau menerima aku.”
“Aku ga menyangkut pautkan biaya rumah sakit dengan jawaban aku. Aku merasa biaya rumah sakit ini bukan tanggung jawab Kak Lana,” jawab Ana perlahan.
Kelana menghela nafas. Kembali menyeruput sisa es teh manisnya.
“Kalau Zara boleh membantu kamu karena dia sahabat kamu, maka anggap saja ini bantuan dari … sahabat.”
“Tapi ini terlalu besar.”
“Yang Zara lakukan buat kamu bahkan lebih dari sekedar soal uang, kan? Ini ga ada apa-apanya, An.”
Ana tertunduk, tetap saja merasa tak enak hati.
“Ana …” panggil Kelana dengan lembut. “Ayolah, jangan membuat jarak kita semakin jauh hanya karena persoalan ini. Aku kembali ke sini buat dekat dengan kamu lagi.”
Kali ini giliran Ana yang menghela nafas.
Semilir angin siang ini mengisi obrolan keduanya di teras rumah yang tak begitu luas.
“Terima kasih,” ucap Ana pasrah.
Beberapa saat keduanya terdiam. Menatap pagar rumah yang sebagian berkarat. Ada hal yang seakan ingin terucap lebih, namun bibir keduanya kelu. Membiarkan lengang menghiasi beberapa saat yang cukup lama diantara keduanya.
“Kamu mulai mengajar lagi besok?” Kelana kembali membuka pembicaraan.
Ana mengangguk.
“Aku bisa antar jemput kamu, biar hemat ongkos, kan?” Kelana memasang senyum manisnya.
“Ga usah. Memangnya Kak Lana ga kerja?”
“Aku bisa mengatur jadwal kerjaku.”
Ana kembali memberikan senyum.