Maunya, Ana tak memikirkan hal ini di masa-masa penyusunan skripsinya. Ia ingin fokus pada persiapan skripsi saja. Tapi, hati tak bisa membohongi kalau ia memikirkan ini.
Mati-matian Ana berusaha menghindari Restu. Ucapan Wiyan tempo hari menggelayuti pikirannya. Mengganggu sekali. Setiap ingat ucapan itu, Ana menghela nafas. Seperti ada penyesalan. Ia sedang meyakini hati, bahwa menghindari Restu adalah pilihan terbaik.
Di sekolah, ia selalu menghindar jika melihat Restu dari kejauhan. Mencari jalan memutar agar tak berpapasan dengannya di koridor kelas. Di kedai, ia hanya ala kadar menyapa. Setelahnya mengacuhkan Restu yang terkadang datang sendirian.
Hingga malam ini, saat Ana selesai bekerja, Restu masih ada di kedai. Menunggu Ana yang enggan keluar dari dapur karena tahu Restu masih ada di kedai.
“Kenapa, An?” tanya Zara yang sedikit mengagetkan Ana yang mengintip dari pintu dapur.
“Eh … itu …”
“Kak Restu?”
Ana tak bisa berbohong lagi. Tebakan Zara seratus persen benar. Ia menghela nafas kemudian mengangguk.
“Kamu kenapa sama Kak Restu?”
“Aku … lagi coba buat menghindari Kak Restu.”
“Kenapa?”
Ia kembali menghela nafas. Berat.
“Zara, kamu ingat ucapan Wiyan tempo hari?”
Zara mengerutkan alisnya. Mengingat ucapan Wiyan yang mana yang Ana maksud.
“Soal Kak Restu yang suka sama kamu?”
“Bukan!” ucap Ana tegas sambil melotot. “Kata Wiyan, ayahnya memarahi Kak Restu karena dekat sama aku, kan?”
Zara masih mengingat. Ucapan Ana jelas terasa berbeda dari pengucapan Wiyan saat itu.
“Itu karena aku membawa pengaruh buruk buat Kak Restu. Mungkin Kak Restu sama seperti Wiyan, yang ga pacaran, ga sering barengan sama lawan jenis. Tapi karena aku, Kak Restu pasti melanggar prinsipnya.”
Wajah Ana terlihat lesu. Merasa bersalah.
Zara tak menyalahkan ucapan Ana. Karena kedekatan keduanya memang menimbulkan prasangka adanya hubungan di antara kedua orang itu.
“Ya, mungkin memang seharusnya kalian ga terlalu dekat. Kamu sudah tau, kan, kalau pacaran itu di larang.”
“Tapi aku ga pacaran, Zara. Kita temenan.”
“Iya, statusnya memang begitu. Tapi realitanya, kamu sering berdua kemana-mana sama Kak Restu.”
“Kemana-mana? Aku ga pernah jalan khusus berdua sama Kak Restu. Itu karena Kak Restu ngajak barengan pulang aja,” bantah Ana.
Kini giliran Zara yang menghela nafas.
“An, itu tetap berduaan,” sanggah Zara dengan lembut.
“Ya, anggap aja Kak Restu tukang ojek,” Ana masih membantah.