Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #66

Menjenguk Abim

Malam itu juga Ana menelpon Wiyan. Dengan suara sendu Wiyan meminta maaf pada Ana meski tak tahu dibagian mana yang membuat Ana merubah nada suaranya saat itu.

“Kak Ana, sebenarnya kalimat mana yang bikin Kak Ana marah. Apa karena aku sok tahu soal perasaan Kak Restu?”

“Ya, itu salah satunya. Tapi aku bukan marah, Wi. Aku cuma ngerasa tertampar sama ucapan kamu. Mungkin selama ini, Kak Restu punya prinsip yang sama seperti kamu dalam hal hubungan. Tapi gara-gara aku, dia pasti melanggar prinsipnya itu.”

“Iya, sih.”

Jawaban Wiyan membuat Ana terkesiap. Padahal ia memang tahu sudah berbuat salah.

“Cuma Kak Ana yang bisa bikin Kak Restu mau seperhatian itu sama perempuan. Sebelumnya, sebanyak apapun perempuan yang titip salam, titip hadiah sama aku, ga ada yang digubris. Kayak ga tertarik gitu. Kak Ana ngerasain, kan, perhatian Kak Restu ga biasa?”

Ana menelan ludah. Berulang kali topik ini dibahas. Berulang kali Ana kerap menyangkal, tapi kemudian perhatian itu makin hari makin terasa berbeda.

“Ya, aku merasakan itu, kok. Cuma aku ga mau kepedean, merasa kalau perhatian itu karena … Kak Restu suka sama aku. Jadi, please, Wiyan … dan semua sahabat-sahabatku, berhenti bahas topik ini. Selama ga ada pernyataan apapun, artinya memang ga ada hubungan yang spesial antara kami.”

Terdengar helaan nafas dari Wiyan. Ia tak bisa lagi memaksakan keyakinannya pada Ana. Jika ia tetap melakukan itu, artinya perang dingin akkan terjadi lagi.

Setelah itu, Ana yang merasa sudah memberi penegasan pada Restu merasa punya satu PR lagi. Penegasan perasaannya pada Kelana. Wajah Kelana saat SMA terekam dalam benak Ana. Wajah ceria yang selalu cerewet mengajaknya bicara. Susu kotak dan roti pemberian Kelana juga tak bisa ia lupakan. Hingga perpisahan mereka saat Kelana akan pergi ke Jogjakarta.

Bukan hanya ekspresi Kelana yang ia ingat saat itu, tapi juga perasaannya. Ia ingat jelas, saat itu ia sedang berusaha menyangkal rasa suka yang ada di hatinya terhadap Kelana. Bahkan gilanya, ia menangis saat mengira Kelana sudah pergi.

Ana tersenyum. Menyadari betapa aneh perasaannya saat itu. Dia yang dulu tak ingin berurusan dengan hal semacam itu, terjerumus dalam perasaan suka pada Kelana.

Tapi, kini … apa benar rasa itu masih sama?

Ia menelan ludah. Berusaha memejamkan matanya. Ia merasa harus segera beristirahat. Seharian ini otaknya dikuras untuk menyusun skripsi. Besok juga ia punya jadwal untuk menjenguk Abim di sel tahanan. Karena terlalu sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya, ia nyaris lupa untuk menjenguk kakaknya.

Namun, baru saja Ana memejamkan mata, ponselnya berdering. Matanya kembali terbuka, tangannya meraba-raba nakas tempat ia menyimpan ponselnya.

“Kak Lana?” gumamnya.

Ana sedikit berdehem untuk menetralkan suaranya. Hingga sebuah seruan terdengar sendu dari seberang sana.

“Ada apa, Kak?” tanya Ana lembut. Ana menyadari sekali nada suara Kelana berbeda.

“An, besok … boleh kita ketemu?”

“Ehm … bo-leh. Tapi agak siang. Aku ada urusan dulu paginya.”

Lihat selengkapnya