Ana tak menyangka jika dirinya akan diajak Kinasih untuk bicara di sebuah kafe yang tak jauh dari halte tempatnya menunggu angkutan umum. Kinasih mempersilakan Ana untuk meneguk minumannya terlebih dulu, sebelum ia membicarakan hal yang jelas sekali akan serius. Dalam hati Ana sudah menerka-nerka, hal apa yang akan dibicarakan. Yang jelas ini akan menyangkut Kelana.
“Kamu gadis yang manis,” ucap Kinasih setelah meletakan gelas minumannya.
Ana hanya tersenyum membalas pujian itu.
Setelah tersenyum, kini Kinasih justru menghela nafas. Air wajahnya berubah. Terlihat jelas oleh mata Ana garis wajah cemas dan bimbang. Namun segera Kinasih menerbitkan lagi senyum untuk menutupinya.
“Ana, aku ga tau ini cara yang benar atau nggak. Kami sudah ga tau cara yang tepat buat menghentikan Kelana.”
Kalimat selanjutnya yang membuat Ana mengerutkan alisnya.
“Aku mohon … sudahi hubungan kalian.”
Kali ini Ana terkesiap dengan mata yang membola.
“Ana … Ibu kami masuk Rumah Sakit setelah melihat pertengkaran Kelana dan Ayah. Semenjak pulang dari Jogja, Kelana semakin keras memberontak. Pertengkaran antara Ayah dan Kelana sudah sering terjadi, tapi kali ini …”
Suara Kinasih terdengar berat melanjutkan. Sementara Ana masih sabar menunggu, meski hatinya digelayuti rasa penasaran yang luar biasa.
“Kelana sampai dipukuli Ayah.”
Ana beristigfar pelan, hatinya sudah tak karuan sekarang.
“Ibu shock berat, sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Dan … sampai sekarang Kelana ga tau ada di mana.”
Kinasih mengusap wajahnya, menyeka poni yang tertata rapi menjadi sedikit berantakan.
“Ana … kami sudah sering bilang pada Kelana untuk menuruti kemauan Ayah. Kami semua memang ditakdirkan hidup sesuai kemauan Ayah. Tapi dia keras kepala.”
Ana ikut terkejut mendengar cerita ini. Tak terbayangkan sebelumnya kalau obrolan ini akan menyesakan dada. Kinasih menatap dalam tepat ke mata Ana. Menggenggam tangan Ana dengan wajah penuh pengharapan.
“Ana … aku mohon, sudahi hubungan kalian. Bilang pada Kelana untuk menerima perjodohan dia dengan anak kolega Ayah. Ini demi kebaikan semua orang. Aku khawatir kalau kalian tetap nekat dengan hubungan kalian … Ayah bisa berbuat ga menyenangkan ke kamu juga.”
Ana tertunduk tak tahu harus menjawab apa.
“Dengar, Ana. Aku tau ini egois. Ini soal perasaan, tapi Ayah kami bukan orang yang serta merta bisa menerima kekurangan orang lain.”
Kali ini ucapan Kinasih semakin menusuk dada. Ana mengerti soal kekurangan orang lain yang dimaksud. Kekurangan Ana, latar belakang keluarga, kisah kelam sang kakak dan tentu saja kasta.
Ana keluar dari kafe dengan langkah dan hati yang tak kalah berat. Ia tak menyangka jika hubungannya dengan Kelana yang belum berstatus ini berakibat fatal pada keharmonisan sebuah keluarga.
Ana menelan ludah. Duduk kembali di bangku halte yang masih kosong. Ia kembali mengingat kisah manisnya bersama Kelana semasa SMA. Anak seceria itu ternyata punya sisi menyedihkan. Tentang peta hidup dan kapal yang ingin ia nahkodai sendiri. Ana ingat jelas raut wajah Kelana saat itu. Sangat ingin punya kapal sendiri.
Tiba-tiba saja air mata Ana turun. Ia tak mengerti karena apa? Tapi tiap wajah Kelana di masa lalu muncul, dadanya terasa nyeri.
***