Cokelat hangat menemani keduanya menikmati senja dan udara dingin di sini. Ana tak melepaskan pandangannya pada hamparan perkebunan teh dan pepohonan hijau di bawah sana. Sementara Kelana tak ingin melewatkan keindahan yang mengalahkan minatnya memandang hamparan hijau dan sinar indah dari sang matahari senja. Ia lebih suka menatap Ana Rose di hadapannya.
“Kak Lana, apa sekarang Kak Lana masih ingin punya peta hidup dan kapal sendiri?” Ana menoleh pada Kelana sejenak.
“Tentu. Aku sangat ingin punya kapal sendiri. Dan aku harus mendapatkan itu.”
“Terkadang, hidup dengan peta yang dibuat orang lain juga ga buruk. Mungkin lebih tepat arahnya.”
Ana meneguk cokelat yang kini sudah mulai hilang panasnya.
“Nggak. Aku tetap harus punya peta yang aku buat sendiri. Kapal yang akan aku nahkodai sendiri. Orang lain belum tentu tau yang terbaik buat kita, An,” ucap Kelana dengan nada suara yang dipaksa riang.
Suasana sejenak lengang. Keduanya kini sepakat menatap kedepan. Udara dingin semakin terasa seiring matahari yang menghilang di balik awan tebal.
“Kak Lana … sebaiknya kita …”
“Ana …,” sela Kelana, “Kamu masih ingat pertama kali kita ke sini, aku sangat senang. Akhirnya aku bisa bawa perempuan ke sini. Biasanya aku ke sini sama Damar atau teman-teman pria yang lain.”
Ana tersenyum. Seakan ada hal ia sadari.
“An … kamu tau, sulit buat aku melupakan cerita kita selama ini. Aku ga tau kenapa, kamu dan semua cerita kita di sekolah membuat aku menutup hati buat perempuan lain. Kamu sangat istimewa di hati aku, An. Sulit buat melupakan kamu.”
Mendadak mulut Ana kelu. Semua kata yang ingin ia utarakan terjegal. Suara Kelana, gurat wajahnya, sempurna membuat Ana menerima ucapan itu tanpa bantahan.
“Aku mohon, An, kamu … mau menemani aku. Sebentar lagi, aku mohon.”
Kenapa kali ini Ana merasa ada keputusasaan dari suara Kelana. Seputusasa itu sang Kelana saat ini? Seberat apa paksaan yang dihadapinya sampai-sampai membuatnya harus mengiba pada gadis pujaan hatinya.
Senja yang indah tak mengubah suasana di antara Kelana dan Ana. Keduanya memlilih pulang sebelum suasana semakin asing. Hingga di depan rumah tak ada obrolan apapun.
“Terima kasih untuk hari ini,” kata Kelana sebelum Ana turun.
Ana hanya tersenyum.
“Hati-hati di jalan. Jangan keluyuran, pulang ke rumah,” kata Ana berusaha mempertahankan senyumnya.