Hari ini adalah hari terakhir Ana magang di sekolah. Saatnya perpisahan dengan murid-murid. Saat perpisahan, Raka – murid yang sering membuat onar – terlihat tak peduli dengan ucapan Ana. Sementara murid yang lain satu per satu menyalami Ana, bahkan ada siswi yang memeluknya. Bilang terima kasih karena berkat Ana, dia bisa memahami materi yang tertinggal.
Ana menghela nafas setelah usai berpamitan dengan murid-muridnya. Ia terus melangkah menuju kantor, ia juga harus berpamitan pada guru-guru di kantor. Ia menyalami satu persatu guru di kantor sambil mengucapkan terima kasih. Bahkan beberapa guru menyarankan Ana untuk melamar menjadi guru di sini setelah lulus kuliah.
Jangan lupakan guru Bahasa Indonesia di sana. Dia juga menunggu Ana mengucapkan salam perpisahan. Ana menelan ludah saat menatap Restu.
“Kak Restu, Eh … Pak Restu …”
“Ga usah akting,” sela guru olahraga yang mengerti kedekatan keduanya, “kalian adik dan kakak kelas, kan? Biasa aja manggilnya, ‘Kak Restu’ …” godanya.
Ana tersenyum.
“Aku pamit, ya. Terima kasih sudah membantu aku selama di sini.”
Restu hanya mengangguk. Hanya itu. Setelahnya tak ada obrolan lagi di antara keduanya.
Ana keluar dari kantor dengan perasaan sendu. Selain merasa sudah sangat dekat selama tiga bulan ini, perpisahan tadi seakan benar-benar perpisahan bagi dirinya dan Restu. Ia harus melupakan semua perasaan ini. Agar tak ada lagi yang harus bersitegang dengan keluarganya.
Ana harus benar-benar fokus pada skripsinya sekarang. Tak boleh ada perasaan yang mengganggunya lagi. Ia harus segera menyelesaikan permasalahan hati ini.
Seperti biasa, Ana menunggu di halte. Beberapa saat menunggu, sebuah mobil van hitam berhenti tepat di hadapan Ana. Dua orang berjaket kulit menghampiri Ana. Wajah keduanya sangar, ditambah tato di sekitar leher menambah wajah itu semakin sangar.
“Lu Ana?”
Ana mundur satu langkah. Hatinya bilang mereka bukan orang yang akan bicara baik-baik. Tapi tangan Ana langsung dicengkram.
“Jangan ngelawan. Gue cuma mau ngasih peringatan,” ucapnya berbisik di telinga Ana.
Satu temannya menempelkan belati di pinggang Ana.
“Jauhin Kelana. Atau, hidup lu ga akan tenang. Kita bakal ngikutin lu kemana pun lu pergi.”
Ana terkesiap. Jantungnya berdegup kencang. Yang Kinasih bilang bukan sekedar bualan. Mereka pasti orang suruhan ayahnya Kelana.
“Ah, sayang banget kalau cuma dikasih peringatan. Kita pake dulu aja,” ucap orang yang memegang belati. “Cantik, jing …”
Temannya terbahak.
“Iya, sih. Boleh kali, ya, dicicipin sedikit.”
Tangan satu berandal itu mengelus wajah Ana. Praktis Ana memberontak. Tapi tusukan belati terasa perih di pinggangnya. Sepertinya sedikit mengenai kullit.
“Jangan ngelawan. Kita main lembut, kok,” bisiknya.
Ana menatap geram dua orang itu, tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Mulai ada gelisah di hati Ana. Melihat keadaan sekitar yang terasa sepi. Mungkin karena ini masih jam pelajaran dan jam kerja.
Tangan satu berandal mencengkram pipi Ana, memaksa wajahnya menatap wajah sangar itu.