Restu masih menutup matanya. Dokter bilang luka tusuknya cukup dalam, dia juga kehilangan banyak darah. Di tambah luka lebam di sekujur tubuhnya. Rasa sakit menahan Restu untuk bangun, untuk meredakan cemas di hati orang-orang yang menyayanginya.
Sudah pukul lima sore dan Restu masih belum sadar. Cemas makin merayap di hati semua yang ada di ruangan ini. Wiyan, Ibunya, Ayahnya dan Ana. Sang ibu terus menggenggam tangan putra kesayangan yang terasa dingin.
“Kamu sebaiknya pulang,” kata ayah Restu tiba-tiba. “Sudah sore.”
“Ehm … bo-leh aku tunggu sampai Kak Restu sadar?” tanya Ana ragu-ragu.
“Ga perlu.”
Ibu Restu menghela nafas, sedikit jengkel mendengar nada suara suaminya yang ketus.
“Ana, kamu pasti capek. Kamu pulang aja dulu. Nanti kalau Restu sudah sadar, Wiyan kabarin kamu.”
Maunya Ana menolak. Bukan lelah yang ia rasakan saat ini. Rasa cemas lebih dominan. Tapi ayah dan ibu Restu sudah menyuruhnya pulang. Sikap Ayah Restu juga terasa dingin pada Ana. Ia tak bisa memaksakan kehendak, meski hati maunya tetap di sini.
Wiyan mengantar Ana hingga ke luar ruangan.
“Wi … sekali lagi aku minta maaf.”
“Kak … udah dong minta maafnya. Sekarang kita banyak berdoa aja, biar Kak Restu cepat sadar, cepet sehat. Dia lagi berusaha menyelesaikan novelnya, loh.”
Ana mengangguk lemah.
“Kalau Kak Restu sudah siuman, kabari aku, ya.”
“Iya, Insyaa Allah aku akan kabari Kakak paling duluan.”
Dengan langkah kaki yang berat Ana melangkah. Berat sekali meninggalkan Restu yang belum sadar. Tapi wajah ayah Restu membuat cemas itu berubah menjadi kesadaran diri. Dia tak diharapkan ada di sana.
***
Tapi sampai pukul sembilan malam tak ada pesan dari Wiyan. Kecemasan itu seketika menjarah hati Ana. Membuatnya tak bisa tidur. Memaksa diri mencari tahu sendiri kondisi Restu.
Beberapa detik ia menunggu panggilannya tersambung. Gagal. Teleponnya tak tersambung pada Wiyan. Makin gelisah Ana dibuatnya. Ia tak bisa membiarkan gelisah ini menemaninya semalaman.