Malam ini Kelana kembali ke rumahnya dengan hati yang nelangsa. Ia mendekat ke arah sang ibu yang masih terlihat pucat meski sudah dua hari keluar dari Rumah Sakit. Kelana bersimpuh di kaki sang ibu. Membenamkan wajahnya di sana.
“Bu, aku kalah lagi,” ucapnya lirih. “Bahkan untuk mencintai perempuan yang aku sukai saja aku ga bisa.”
Sang ibu mengerti betul perasaan sang putra, namun ia tak bisa berbuat banyak. Membujuk suaminya adalah hal tersulit. Jika suaminya sudah berkata, maka ucapan itu yang harus dilaksanakan putra-putrinya.
“Padahal Ayah sudah berjanji ga akan mengganggu Ana, kalau aku bersedia menyelesaikan kuliahku di Jogja. Tapi Ayah melakukan itu sekarang. Ayah mengirim orang untuk mengganggu Ana. Membuat dia pergi dari aku. Seandainya aku ga menuruti kemauan Ayah untuk kuliah di Jogja, mungkin dia masih akan bersama aku, Bu. Atau sama saja, Ayah akan tetap ga merestui kami? Lalu dia menyuruh orangnya untuk menganggu Ana? Lalu Ana menyerah. Mau seperti apapun cerita yang aku usahakan sendiri, Ayah akan tetap mendominasi keinginannya, kan?”
Tak ada kalimat yang bisa dikeluarkan Nyai Asiyah saat mendengar kesedihan sang putra. Ia hanya bisa membelai rambut Kelana dengan mata yang basah.
Kelana mengangkat wajahnya, menatap Ibunya dengan wajah penuh sendu.
“Bu … aku mau pergi dari sini. Ibu … jaga diri baik-baik. Aku pasti akan mengabari Ibu sesekali.”
“Kelana … jangan, Nak,” cegah Nyai Asiyah sambil menggenggam tangan Kelana.
“Aku sungguh-sungguh ingin punya peta hidup sendiri, Bu. Ayah sudah melanggar janjinya. Maka, aku juga bisa melanggar perintahnya.”
Mata Nyai Asiyah semakin basah mendengar ucapan Kelana. Ia tahu hal buruk akan terjadi lagi setelah ini.
Kelana mencium tangan sang ibu. Menatapnya lebih dalam sekali lagi. Mata sang ibu berusaha mencegah, tapi tatapan Kelana menunjukan keyakinan.
Ia beranjak bangun, tak mempedulikan tangisan sang ibu yang mencegahnya pergi. Tapi di depan bingkai pintu, langkahnya terjegal. Sosok yang selama ini ia patuhi perintahnya berdiri tegak dengan mata tegas menatapnya.
“Mau kemana lagi kamu?”
“Ayah sudah melanggar janji. Jadi aku boleh melanggar perintah Ayah, kan?”
“Kelana! Kembali atau semua fasilitas yang kamu punya Ayah ambil?!”
“Silahkan. Aku memang berniat memulai hidup baruku. Dengan usaha dan mimpi-mimpiku sendiri. Kalau Ayah berkenan, cukup doakan aku.”
Kelana pergi. Tapi baru beberapa langkah, ia terhenti. Kembali berbalik ke arah sang ayah yang terpaku dengan menahan amarah.
“Ayah, aku pergi bukan karena seseorang. Aku sungguh ingin menggapai mimpi-mimpi yang aku bangun sendiri. Kalau Ayah pikir ini karena Ana, Ayah salah. Dia akan pergi dengan lelaki lain. Sejak awal aku datang, dia sudah tidak menyukai aku. Jadi, jangan ganggu dia lagi. Kalau suatu hari aku menyukai perempuan yang tidak masuk dalam kriteria menantu Ayah, aku mohon, jangan halangi aku lagi.”
Kelana kembali meneruskan langkahnya dengan keyakinan.
“Kelana!!!” seru sang ayah murka.
Tapi Kelana tak peduli. Hatinya sudah sangat kecewa karena sang ayah. Banyak yang tak dinampakan Kelana dari yang tersembunyi di hatinya. Harapannya untuk menikah dengan perempuan yang ia sukai sirna. Padahal selama ini, ia sudah menuruti apa mau Ayahnya. Ia hanya minta satu hal saja yang lain dari semua perintah ayahnya. Urusan hati.
Namun Ayahnya terlalu keras. Baginya Kelana adalah anak kebanggan, satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Berharap besar ia akan menikah dengan perempuan yang setara status sosialnya. Agar kelak, saat diperkenalkan dengan keluarga dan koleganya, ia bisa tersenyum bangga. Semua yang ada dalam hidup putranya sudah sempurna. Itu pikir Ayahnya.
Kenala merasa ini yang tebaik. Ia tak bisa memaksakan hati menerima perjodohan. Jika ia tak bisa mencintai gadis pilihan Ayahnya, bukan tidak mungkin ia akan melukai gadis itu.