Malam ini Hesti datang ke kedai bersama suami dan anaknya. Ia menyapa Ana dengan santai dan lebih ceria. Hesti tahu semua cerita tentang Ana dan Zara. Tapi ia berusaha pura-pura tak tahu.
“Ana, Zara … kebetulan karyawan kita yang ada di wahana bermain lagi cuti, kita belum ada gantinya. Bisa ga kalian bantu jaga di sana sementara? Kalau aku di sana, bocah kecil ini ga akan berhenti ngajak main. Jadi kita tukar posisi dulu, ya.”
Ana mengangguk tak protes. Begitu juga Zara.
Semenjak menikah, jalan usaha Hesti dan suaminya memang terbuka lebar. Mereka bisa membuka beberapa cabang kedai kopi di kota ini. Bukan hanya minuman kopi, kini kopi bubuk aslinya pun di jual di setiap kedai. Dan uniknya, Hesti tetap mempertahankan konsep warung kopi tradisional, namun dibalut tempat yang minimalis modern.
Besoknya, Ana dan Zara berangkat bersama menuju wahana bermain yang terkenal di kota ini. Tak lupa buku dan laptop dibawa, mereka bisa mencuri waktu senggang untuk menyusun atau mengkoreksi skripsinya.
Saat keadaan kedai sedang tenang, tiba-tiba seorang anak perempuan yang mungkin berusia enam tahun masuk dengan membuka pintu kedai dengan kasar. Matanya basah, mengitari seisi kedai. Kemudian menangis dengan keras. Membuat orang-orang yang ada di sana terkejut dan heran.
Satu bartender keluar dan menanyakan kenapa anak itu menangis. Tapi ia justru berteriak-teriak sambil menangis.
Ana dan Zara ikut keluar.
“Adek, kenapa, Sayang?” tanya Ana dengan lembut.
Tapi suara Ana tak mampu membuat anak itu berhenti berteriak. Justru semakin menjadi. Anak itu jusru menambah kegaduhan dengan menghentak-hentakkan kakinya.
“Gimana, nih, An? Orang tuanya mana?” Zara ikut panik melihat si anak makin menjadi.
Tatapan pengunjung mulai terlihat risih. Belum lagi anak kecil dari pengunjung lain terlihat ketakutan.
“Adek … mau ikut aku?”
“Ayah … aku mau Ayah!” teriaknya dengan artikulasi yang kurang jelas.
“Ayah kamu di mana?” tanya Zara.
“Ayah! Aku mau Ayah!”
“Aku tahu ayah kamu ada di mana?” kata Ana yang terdesak mendengar tangisan anak itu.
Dan ajaibnya anak itu berhenti menangis seketika.
Ana dan Zara saling melirik.
Zara menggeleng saat mengerti ucapan Ana butuh pertanggung jawaban.
“Oke, tapi kamu harus tenang, ya. Nanti aku antar kamu ke ayah kamu. Oke?”
Ana menatap wajah anak itu dengan penegasan lewat matanya. Seakan tatapan itu punya magis, anak itu mengangguk. Mengusah air mata yang meleber di pipinya.
“Zar, aku antar anak ini ke pusat informasi dulu, ya. Sepertinya dia terpisah sama orang tuanya.”
“Aku ikut,” kata Zara.
“Ga usah. Jaga kedainya aja.”
Zara menurut.
“Ayo, kita cari ayah kamu,” kata Ana kembali menatap mata anak itu.