Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitulah kisah pilu yang Ana rasakan. Ribuan cerita indah bersama sang ayah di masa lalu tak lantas membuat amarah di hati Ana hilang. Kesalahan yang dibuat sang ayah sangat fatal. Semua amarah itu membuat Ana melimpahkan semua kemalangan yang terjadi pada diri dan keluarganya adalah salah sang ayah. Kepergian ibu, penangkapan kakaknya, hingga ia harus berjuang tanpa kedua orang tersayangnya, semua itu karena kesalahan Ayahnya.
Sulit buat Ana tak meneteskan air mata saat foto ia bersama ibu dan kakaknya di tatap malam ini. Di kamar sang ibu. Kesepian yang sudah lama ia lupakan, kini terasa lagi. Rumah sederhana ini terasa sepi, seakan tak ada suara kehidupan. Hanya isak tangis Ana. Ia meringkuk memeluk foto dalam figura.
“Kenapa dia harus hidup bahagia, sementara aku harus begini?” ucapnya lirih dan perih.
Pertanyaan yang menambah perih di hati Ana. Terlihat jelas dari pakaian yang dikenakan gadis kecil itu, serta penampilan Ayahnya yang rapi menandakan kehidupan ekonomi mereka yang berkecukupan bahkan terlihat mewah.
Malam ini sendu terus membalut hati Ana. Ribuan cerita diputar hanya untuk melukai diri sendiri. Merutuki nasib, sampai terpejam.
Sudah dua hari Ana tak masuk kerja. Membuat sahabat yang sekarang sudah tahu cerita tentang kejadian di wahana berniat menghiburnya. Ketiganya sudah sepakat untuk melihat Ana ke rumahnya.
“Inget, ya, kita ga boleh tanya apapun tentang kejadian kemarin!” kata Kinanti menegaskan. “Pokoknya hari ini kita bikin dia happy lagi. Oke?”
Dua orang yang lain mengangguk yakin sambil mengepalkan tangan.
Mereka siap mengetuk pintu. Tentengan tas belanja berisi makanan dan minuman ringan sudah disiapkan.
Satu kali pintu diketuk, tak ada jawaban. Dua kali, masih tak ada jawaban. Tiga kali, tetap sama.
“Ana …” panggil Kinanti.
Tak ada jawaban.
“Ana …” seru Zara yang mulai khawatir.
“Kak Ana …” kini giliran Wiyan sambil menggedor pintu.
Ketiganya mulai cemas.
“Kita dobrak aja pintunya,” usul Wiyan.
Kinanti mengangguk setuju. Sudah dua hari Ana tak ada kabar. Mereka sepertinya punya kekhawatiran yang sama.
“Zar … coba dobrak,” kata Kinanti.
“Eh? Kok aku?”
“Tenaga kamu yang paling besar,” jawab Kinanti. Membuat Zara berdesis kesal.
Zara mencoba mendobraknya. Tapi tak berhasil. Kinanti penasaran mencoba. Memang sulit.
“Kak Ana!” Wiyan mulai panik. “Gimana ini?”
Di saat kebingungan dan cemas menghinggapi mereka, seruan seseorang memecahkan kecemasan itu.