Sekitar pukul sembilan Wiyan harus pamit pada Ana karena dosennya menyuruh Wiyan datang hari ini. Terpaksa Ana sendirian lagi sekarang. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Tak ada teman untuk diajak bicara, atau buku dan kitab suci yang dibaca karena ia tak membawanya. Ana yang tubuhnya sudah mulai bertenaga lagi beranjak bangun, keluar dari ruangan sempitnya dengan tiang infus yang dibawa serta. Ia membuka sekat tirai antar ruangan, berjalan ke arah jendela di ruangan ini.
Lalu lalang orang yang menjenguk mulai terlihat, ini jam besuk. Ana melihat seorang pria paruh baya yang membawa tentengan berisi makanan, tersenyum riang ke arah anaknya yang dirawat di sebelah Ana. Tirainya terbuka lebar. Memperlihatkan juga sang ibu yang terus mengelus rambut sang anak. Usia anak itu sekitar lima belas tahun. Mengingatkan Ana pada dirinya dan orang tuanya dulu, sebelum mereka berpisah.
Ana menghela nafas, mengusir rasa iri karena ia sendirian sekarang. Ibu dan kakaknya tak ada di sini. Jangan tanyakan ayahnya, ia bahkan tak ingin mengingat lagi kejadian beberapa hari terakhir saat ia terpaksa kembali melihat wajah pria yang sudah melukai hati ibunya.
Ia menghibur hatinya dengan menatap pemandangan di luar jendela yang hanya menampakkan deretan kendaraan yang tersendat karena ini jam sibuk.
“Ayah, janji, ya besok kalau aku keluar dari rumah sakit, Ayah ajak aku jalan ke Dieng.”
“Siap Tuan Putri. Yang penting kamu sehat dulu, ya.”
Suara anak dan ayah yang harmonis itu mendadak jelas tertangkap oleh indera pendengaran Ana. Membuatnya sedikit kesal. Kenapa harus terdengar di saat ia sendirian. Tak ada teman, apalagi keluarga yang menemani.
Suara tawa dari sang ibu dan ayah yang kompak menggoda sang anak membuat hati Ana terenyuh. Ia tak bisa menahan bulir air matanya untuk jatuh. Tak apa. Ia meneteskannya sambil menghadap jendela.
Makin terdengar senda gurau dari keluarga itu, semakin nelangsa hati Ana. Ana menghardik dirinya, kenapa harus bersedih. Bukankah, sebelumnya juga ia pernah masuk Rumah Sakit tanpa keluarga. Ada sahabat-sahabatnya. Harusnya itu cukup.
Air mata tak mau berhenti mengalir. Awalnya tanpa suara, tapi makin lama terdengar isak kecil.
Mungkin karena senda gurau keluarga di sampingnya, mengingatkan Ana pada keluarganya dulu. Tapi sekarang, justru ia melihat Ayahnya bersama dengan keluarganya yang lain. Bukan dengannya.
Dalam kesedihan itu, sebuah seruan menyadarkan dirinya yang larut dalam tangis.
“Tante?” Ana berusaha menyeka air matanya. Menata suara dan memasang senyum.
“Kamu udah mendingan? Kok, udah jalan-jalan?”
“Alhamdulillah, sudah lebih baik, Tante.”
Ibu Restu yang bergegas menghampiri Ana, menatap matanya yang masih basah.
“Kenapa, Sayang?”
Ana menggeleng pelan.
“Mungkin, sedikit cerita bisa sedikit meringankan beban di kepala kamu. Tante bisa jadi pendengar yang baik, loh.”
Ana menatap mata Ibunya Restu. Kedua mata itu bertaut seakan bilang silahkan bercerita.
“Aku, lagi kangen aja sama Ibuku, sama Kak Abim juga.”
Mata Ibunya Restu masih tertuju pada Ana.
“Aku juga tiba-tiba iri sama orang yang punya keluarga utuh.”