Sudah tiga hari Ana dirawat. Wajah pucatnya perlahan kembali merona. Sudah banyak garis senyum di wajahnya. Bagaimana tidak, selama tiga hari itu sahabat-sahabatnya datang bersamaan kemudian bergantian menjaga Ana saat malam hari.
Hari ini Ana sudah dinyatakan boleh pulang. Ia begitu bahagia mendengarnya. Sudah bosan hanya bisa melihat pemandangan kendaraan yang berebut jalan dari jendela rumah sakit.
Dan yang membuatnya bahagia lagi adalah kedatangan Restu yang datang bersama Wiyan yang akan menjemputnya pulang.
“Kak Ana di depan, aja,” kata Wiyan saat Ana hendak membuka pintu mobil belakang. Ia membukakan pintu depan untuk Ana.
“Udah, ga apa-apa. Ada aku di belakang,” kata Wiyan seakan tahu kekhawatiran Ana.
Ragu-ragu Ana masuk dan duduk di kursi samping Restu.
“Saya ga akan gigit kamu,” celetuk Restu bergurau dengan wajah datar.
Ana tersenyum simpul. Ia merasakan sesuatu yang rasanya sudah lama tak ia temui dari Restu. Celetukan dengan wajah datar yang terkesan sinis, padahal maksudnya bergurau.
“Yang lain ke mana?” tanya Ana menoleh pada Wiyan di belakang.
“Hm, itu mereka nunggu di rumah Kak Ana,” jawab Wiyan sambil mengetikan pesan di ponselnya.
“Memangnya kalian punya kunci rumah aku?”
“Kak Ana lupa? Pintu rumah Kakak, kan rusak setelah didobrak sama Kak Lana.”
“Oh, iya,” gumam Ana.
“Kata Kak Kinan, balik dari rumah sakit dia langsung betulin pintu rumah Kakak,” tambah Wiyan terkekeh. “Dia sangat bertanggung jawab ternyata.”
Ana ikut terkekeh mendengarnya.
“Harusnya aku berterima kasih sama dia,” celetuk Ana pelan.
Saat nama Kelana disebut, refleks saja Restu menoleh pada Ana. Memperhatikan air wajahnya meski sekilas.
“Kamu mau ketemu dia lagi?” tanya Restu dengan mata yang fokus pada jalanan.
“Eh? Ketemu … Kak Lana?”
Restu menelan ludah, kemudian mengangguk pelan.
“Aku ga tahu kemana dia pergi sekarang.”
“Dulu, dia juga pergi dari kamu. Lalu, dia datang lagi. Apa mungkin, suatu hari dia juga akan datang lagi?”
Ana menghela nafas.
“Aku ga tau. Kalau pun dia datang lagi, mungkin dia sudah punya cerita lain. Dan aku berharap yang terbaik buat dia.”
“Kamu masih ada perasaan sama dia?” tanya Restu.
Wiyan yang duduk di belakang terkesiap mendengar pertanyaan ini. Ia sampai harus membungkam mulutnya sendiri.
“Eh? Ke-kenapa memangnya?” tanya Ana gelagapan.
“Saya hanya memastikan,” jawab Restu datar.
“Hei, jangan-jangan kalian sudah jadian, ya?” tanya Wiyan yang tak tahan dengan keterkejutan percakapan keduanya.
“Nggak” tegas Ana.