Sebulan setelah kepulangan Ana dari rumah sakit, hidupnya kembali tertata. Abim yang selama di tahan mendapat pelatihan agar setelah bebas dapat berbaur dengan masyarakat dan menjadi pribadi yang produktif juga mulai menata hidup. Dari banyak pelatihan yang Abim ikuti di sana, ia lebih tertarik ikut pelatihan mekanik.
Berbekal keterampilan itu, Abim dengan sepedanya berkeliling menawarkan jasa memperbaiki alat-alat sederhana di rumah. Ia tahu di usianya sekarang, tak mudah bekerja di pabrik apalagi dengan status mantan narapidana. Biarlah ia berusaha semampunya untuk memperbaiki apa yang sudah ia lakukan di masa lalu.
Ana juga semakin fokus dengan skripsinya. Bahkan ia menolak pesanan buket demi konsentrasi pada skripsinya. Tapi ia sedikit punya angin segar, ia punya teman mengerjakan skripsi.
Sebelum jam masuk kerja, saat Restu tak ada jadwal mengajar, mereka akan bertemu di perpustakaan kota. Restu akan membantu Ana jika ada kendala. Sambil tetap ia menyelesaikan revisi novelnya.
“Kalau sudah lelah, isitirahat dulu,” kata Restu yang melihat kerut alis Ana nyaris bersatu.
Ana menghela nafas. Melemaskan alis yang berkerut.
“Sudah lapar?” tanya Restu.
Ana tersenyum kemudian mengangguk.
“Berfikir keras memang suka bikin lapar,” celetuk Restu bersiap, merapikan buku dan laptopnya.
Begitu juga Ana. Perutnya memang sudah keroncongan. Pagi tadi dia hanya sarapan sedikit.
Kedai soto menjadi tujuan mereka. Ana lahap menghabiskan nasi dan kuah soto.
“Kamu ga sarapan?” tanya Restu.
“Pagi tadi aku cuma sarapan sedikit.”
“Mau tambah?”
“Nggak, udah cukup. Kenyang banget,” kata Ana dengan wajah menyerah.
Restu tersenyum melihat wajah manis itu.
Tak ada penegasan dalam hubungan keduanya. Setelah obrolan di rumah sakit, seperti ada hati yang terbuka dan saling menerima meski tanpa kata penegas. Ana tak lagi menyangkal soal hati yang mungkin bersambut. Ia ingin tetap menikmati hubungan ini tanpa ada status. Ia nyaman dengan hubunganya saat ini.
“Mau ke kedai sekarang?”
“Boleh. Jarang-jarang aku bisa datang lebih awal,” kata Ana dengan senyum lebar.
Tanpa ajakan, tanpa penolakan, Ana berjalan berdampingan dengan Restu menuju parkiran dan segera naik.
“Revisinya sudah sampai mana?” tanya Ana saat Restu sudah melaju setengah perjalanan.
Restu menghela nafas.
“Hampir selesai. Semoga ini revisi yang terakhir.”
“Hmm, novel kali ini sad ending, ya? Kenapa?” tanya Ana penasaran.
“Memangnya sad ending, ya? Menurut saya ini akhir yang indah.”
“Eh?” Ana terkesiap.
Restu pernah memperlihatkan sinopsis dari novel yang sedang direvisi olehnya. Ana tahu akhir dari novel Restu kali ini. Si pemeran pria akan kehilangan kekasih hatinya untuk selama-lamanya.
“Katanya orang yang saling mencintai tidak akan pernah berpisah, meski kematian nyatanya memisahkan jasad keduanya. Tapi hati orang yang tulus mencintai akan selalu mencintai. Tak peduli berlainan alam. Mereka hanya menganggap perpisahan di dunia ini hanya sementara. Ada pertemuan abadi setelah kematian nanti. Hanya perlu berusaha hidup dengan baik agar tujuan keduanya tercapai. Bertemu dalam keabadian di surga-Nya,” papar Restu.
Ana tertegun mendengarnya.
“Sebenarnya, kisah ini bukan hanya untuk pasangan suami-istri. Ini juga berlaku buat semua orang yang kita cintai. Yakini saja, nanti kita akan bertemu lagi di surga-Nya. Tinggal bagaimana kita meneruskan hidup dengan baik.”
Ana tertunduk. Ia ingat ibunya.
“An …”
Ana tak menjawab.