Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #79

Lulus

Nelangsa akan bertemu bahagia setelah badai terlewati. Rasa bahagia itu akan lebih bermakna jika dibarengi hati yang menerima hikmah. Ribuan cerita tercipta, maka ribuan hikmah pula terasa. Dalam mengetuk hati agar lebih bijak dan mendewasakan.

Ana dan Abim mulai hidup dengar ribuan hikmah dari ceritanya terdahulu. Perlahan, Abim yang sungguh berniat ingin memperbaiki hidup, bangkit dengan pekerjaan barunya sebagai seorang teknisi rumahan. Jika siang hari ia berkeliling mencari orang yang butuh jasanya, maka sore hari ia akan menerima orang yang datang ke rumah untuk memperbaiki peralatan mesinnya yang rusak.

Lama-lama usahanya berkembang dan ia mampu membuka bengkel rumahan di depan rumah.

Ana juga sama. Ia semakin fokus dengan kuliahnya. Jadwal untuk sidang skripsi sudah keluar. Hatinya semakin tegang saat hari itu tiba. Namun, ia meyakini diri bahwa penyusunan skripsi dibuat sendiri olehnya. Buku-buku referensi yang ia gunakan dibawa sebagian. Sebagian lagi ia dapat dari website yang akuntable.

Dengan percaya diri, meski sedikit tegang, Ana memasuki ruang sidang. Mendadak, wajah ibunya muncul dalam benak. Ia menghela nafas. Bilang dalam hati bahwa sidang ini ia dedikasikan untuk almarhumah ibunya. Maka, ia akan melakukan yang terbaik dalam sidang skripsinya.

Ana benar soal penyusunan skripsi yang dilakukan sendiri bisa lebih melekat di otaknya. Tak perlu banyak menghafal, kebanyak dari isi skripsi sudah tersimpan di memori otaknya saat penyusunan.

Dengan lugas, Ana bisa menjawab semua pertanyaan dosen penguji. Membuat dosen pembimbingnya bangga.

Ana menghela nafas lega saat keluar dari ruang sidang, kemudian berpelukan dengan teman-teman seperjuangannya.

Waktu berlari dengan cepat. Ana berhasil melewati semua ujiannya di kampus. Hingga hari yang dinantinya tiba. Wisuda.

Mengenakan toga dengan riasan tipis membuatnya terlihat sedikit berbeda. Menunggu giliran namanya dipanggil. Ditambah ia lulus dengan gelar cumlaude.

Dengan selempang bertuliskan CUMLAUDE, ia keluar ruangan. Wajahnya menggambarkan berbagai perasaan yang ada di hati. Di dominasi rasa haru, percampuran dari sendu karena sang ibu tak bisa melihatnya wisuda. Kemudian bahagia karena ia sudah naik setahap dari perjuangannya mengenyam pendidikan dalam keterbatasan.

Ia peluk erat sang kakak dengan air mata yang akhirnya meleleh. Kemudian terisak haru.

“Hei, ini kemeja baruku. Masa kamu kotorin sama ingus kamu,” ujar Abim berusaha menghibur adiknya.

Ana melepaskan pelukannya. Meski Abim berusaha bercanda, nyatanya haru itu tak kunjung hilang.

Abim menghela nafas, menatap wajah basah adiknya. Telapak tangan lebar yang kini kasar, menyeka air mata sang adik.

“Aku bangga sama kamu. Ibu juga pasti bangga.”

Ana berusaha tersenyum, namun haru itu kembali mendesaknya untuk terisak dan kembali memeluk Abim.

Kali ini Abim membiarkan adiknya terisak. Mengelus lembut kepala Ana.

“Selamat, ya, Adikku tersayang,” ucap Abim.

Beberapa saat, Ana baru melepaskan pelukannya. Kemudian menyeka air matanya.

“Udah, ya, nangisnya. Hari ini harus lebih banyak senyumnya. Ini pencapaian kamu selama berjuang buat lulus. Bahkan kamu cumlaude. Meskipun aku yakin, kamu memang bisa dapat gelar ini. Kamu harus menikmati hari ini,” kata Abim ikut menyeka air mata di wajah Ana.

“Kak Anaaa …”

Ana tahu persis suara siapa itu. Dan berharap ia datang bersama kakaknya. Namun nyatanya, orang yang diharapkan datang bersama Wiyan tak datang. Semalam, Restu sudah bilang harus bertemu dengan pihak penerbit untuk urusan promosi perdana novel milik Restu.

Congratulation … selamat mencari kerja,” kata Wiyan sambil memeluk Ana. “Udah tau, kan, Kak Restu ga bisa datang?”

Ana mengangguk.

“Ana …”

Kali ini dua sahabatnya yang datang. Zara dan Kinanti. Segera berhambur dalam pelukan Ana.

Lihat selengkapnya