Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #80

Hadiah Dari Ayah

Kabar bahagia tentang kelulusan Ana ternyata terdengar dari seseorang yang sangat ingin bertemu dengannya, namun terhalang perasaan bersalah dan tahu diri.

Ayah Ana, yang pernah datang diam-diam ke kedai kopi Hesti dengan hati-hati melihat situasi. Ia tak ingin putrinya kembali pergi begitu melihat dia. Namun, dari hasil penyelidikannya beberapa waktu, dibantu orang kepercayaannya, Ayah Ana tahu kalau anaknya masuk kerja di jam sore.

Ayah Ana datang di setengah jam menuju jam kerja Ana. Karena Hesti maupun Zara belum pernah bertemu Ayah Ana secara langsung, mereka tak menyadari kedatangannya. Menganggap ia sebagai tamu biasa.

Saat itulah, ia mendengar kabar bahwa Ana telah wisuda dan sedang datang untuk wawancara di sebuah sekolah. Keberuntungan buat Ana karena tak perlu lama menunggu.

Di lain hari, Ayah Ana datang lagi. Kali ini ia membawa sebuah hadiah dalam kotak kado yang dihias pita cantik. Juga sebuah buket balon berwarna pink dengan hiasan bunga mawar pink di keranjangnya.

Bukan tak berniat bertemu, tapi ia cukup tahu diri untuk menampakan diri di hadapan Ana. Ia hanya menitipkan itu pada Hesti.

“Maaf, kalau boleh tau, Bapak siapanya Ana?” tanya Hesti yang tentu saja harus tahu siapa pengirim hadiah ini.

“Bilang saja dari keluarganya. Terima kasih sebelumnya, ya.”

Ayah Ana tak banyak bicara, kemudian segera keluar. Tapi ia tak segera pergi dari sana. Ia menunggu Ana datang. Dari kejauhan, ia menunggu. Tak peduli berapa lama. Yang jelas ia sangat ingin melihat putrinya yang kini telah beranjak dewasa, yang dapat lulus dengan perjuangan hidup berkerikil.

Nyaris satu jam ia menunggu, hingga akhirnya Ana datang dengan tergesa-gesa. Ia terlambat hari ini. Wajah tak enak karena terlambat itu masih bisa dilihat dengan jelas oleh ayahnya. Wajah yang sama jika ia terlambat.

Kemudian mucul gambaran wajah-wajah lain dari Ana kecil dulu. Wajah cerianya, wajah cemberutnya saat diusili Abim, bahkan tangisnya, masih terekam jelas di ingatan ayahnya. Tapi kemudian, ia lupa bagaimana bisa perubahan itu terjadi pada putrinya. Wajah manis yang kini semakin dewasa. Ia lupa. Atau mungkin, ia tak tahu karena melewatkan hal penting saat putrinya beranjak dewasa.

Kali ini, perasaan bersalah itu menghadirkan air mata di garis tegas wajah sang ayah. Ia tak ikut hadir dalam kehidupan remaja putrinya yang terlihat sangat kuat sekarang.

Dari kaca pintu kedai, ia bisa melihat wajah sendu saat mendapat hadiah darinya. Padahal dulu, ia selalu senang bahkan sampai berjingkrak jika mendapat hadiah dari ayahnya.

Tiba-tiba, ia harus mundur beberapa langkah agar tak terlihat Ana. Gadis itu menoleh keluar dan benar-benar keluar kedai untuk mencari si pemberi hadiah. Meski Hesti tak bilang itu dari ayahnya, tapi ia tahu itu hadiah dari ayahnya.

Beberapa detik kemudian, ia melihat ada air mata mengalir dari pelupuk mata putrinya yang segera diseka.

Ia kembali menangis tanpa suara.

Ayahnya terpaksa balik badan. Ia khawatir tak bisa mengendalikan diri dan menemui Ana. Ia harus pergi sekarang. Ia ingat pada pemuda yang pernah ia beri kartu namanya. Berharap pemuda itu benar-benar bisa menjadi penyambung pertemuanya dengan Ana, jika Ana sudah sudi bertemu dengannya.

Hadiah itu membuat sendu di hari Ana.

Zara yang kemudian tahu cerita hari dari Hesti, tak lantas banyak bertanya. Ia hanya membahas soal wawancara Ana juga usaha Zara mencari pekerjaan meski Hesti sudah menyuruhnya untuk memegang kedai ini.

“Zara, hadian ini dari ayahku,” kata Ana tiba-tiba bercerita di sela persiapannya untuk pulang.

Zara yang sudah menduganya bersama Hesti tak terlalu kaget. Rasanya, besar kemungkinan itu ayah Ana, karena kisah keduanya sudah diketahui sahabat-sahabat Ana.

“Aku bingung, Zar. Aku masih benci sama dia. Tapi, kenapa tadi tiba-tiba aku mencari dia.”

Zara masih menunggu Ana melanjutkan ceritanya.

“Aku ga bisa bilang, aku sudah memaafkan dia. Masih ada rasa getir kalau ingat semua yang dia lakukan sama kami. Tapi, kenapa aku harus nyari dia tadi? Apa karena aku ingin melampiaskan kemarahan aku selama ini sama dia?”

Zara bingung harus bilang apa. Dia tak pandai menghibur dengan merangkai kata. Ia memilih memeluk Ana.

“Zara … aku benci sama dia. Tapi, ternyata aku kangen sama dia,” ucap Ana lirih. “Dulu … kalau aku juara kelas, Ibu akan masak makanan istimewa dan Ayah kasih aku hadiah. Aku kangen momen seperti itu, Zar.”

Kali ini Ana terisak. Diikuti linangan air mata dari Zara.

Lihat selengkapnya