Di hadapan Abim tak ada sekat baginya untuk berekspresi sesuai kemauan hati. Menuangkan semua kecewa yang ia rasa, juga tangis yang sempat tertahan di hadapan manusia lain. Isaknya bahkan terdengar perih begitu bilang ada setitik rindu di hatinya. Ia tak ingin berbohong di hadapan sang kakak.
Abim menggenggam tangan adiknya yang terisak, kemudian memeluknya agar ia tenang.
“Ga apa-apa kalau kamu rindu. Ga apa-apa juga kalau masih ada rasa kecewa di hati kamu. Menurut aku itu wajar. Kita hidup dengan Ayah bukan hanya saat menderita saja. Ayah juga pernah hadir dalam cerita bahagia kita.”
“Terus, kalau Ayah datang lagi, aku harus gimana, Kak?”
“Kamu harus berani menghadapi pertemuan dengan Ayah, An. Suatu hari, kamu pasti akan memerlukan kehadiran Ayah. Jangan sampai perasaan marah kamu sama Ayah, merusak cerita kamu yang lain.”
Berani?
Berani menantang rasa perih yang kembali hadir saat menatap mata ayahnya?
Beruntung pertemuan yang ia takuti itu belum terjadi. Ayahnya sangat tahu diri untuk tak menampakan diri di hadapan putrinya. Namun, ia juga harus mencari info lain soal keberadaan Ana sekarang. Agar ia masih bisa melihat putrinya secara diam-diam.
Pasalnya, Ana sudah tak bekerja di kedai kopi Hesti. Ia sudah diterima mengajar di salah satu SMP di dekat sekolahnya dulu. Masih satu yayasan dengan sekolahnya dulu.
Sesekali mereka akan berkumpul di kedai Hesti jika punya waktu senggang bersamaan.
Seperti malam ini, semuanya berkumpul di kedai. Ana, Zara, Kinanti dan Wiyan asik mendengarkan cerita Wiyan yang tengah bergelut dengan kegiatan kampusnya. Makin hari gadis ini makin mempesona, bukan hanya soal parasnya yang manis tapi juga kemampuannya bicara di depan orang banyak semakin mengagumkan.
Belum lama, Wiyan dan timnya memenangkan sebuah lomba di universitasnya. Lomba membuat sebuah rancangan ide bisnis yang diminati kalangan anak muda. Wiyan dan timnya membuat sebuah ide bisnis dengan membuat sebuah website sederhana yang menyediakan berbagai jasa. Misalnya, jasa rias pengantin, jasa fotografer juga jasa mengajar. Ia bekerjasama dengan beberapa jasa tersebut.
Butuh riset mendalam untuk mendapat kerja optimal dari website ini. Beruntung, Wiyan dan timnya punya jaring sosial yang luas. Kendala pembuatan website, kontak jasa dapat mereka lalui.
Saat menceritakannya, wajah Wiyan sangat berbinar. Ia seperti menemukan hal menyenangkan dalam kegiatannya itu. Yang lain ikut antusias mendengarkan.
Sementara Zara dan Kinanti, harus pasrah menerima bahwa mereka harus meneruskan bisnis milik keluarganya.
Hesti yang memiliki beberapa cabang baru, hasil rintisan bisnis bersama suaminya tak bisa menghendle kedai pertamanya ini. Lagipula, ia memang ingin kedai ini jadi milik Zara.
Dan Kinanti, sejak awal dia memang sudah tahu bahwa ia akan masuk dalam salah satu bisnis keluarganya. Ia dipercaya memegang bisnis perhotelan yang kini makin diminati pelancong. Menjual jasa inap kamar hotel dengan fasilitas lengkap dan pemandangan alam, menarik banyak minat orang kota yang bekerja dan menghabiskan waktunya dilingkungan yang tak banyak melihat alam.
Lalu Ana. Dia seorang Ibu Guru sekarang. Ia juga menikmati hari-harinya sebagai guru. Ia sudah memimpikan profesi ini sejak lama. Bertemu anak-anak yang membenci matematika, membuat mereka tertarik dan kemudian membuat mereka menyukai matematika adalah tantangan buat Ana.
“Kak Retsu sama Kak Damar makin jarang gabung,” kata Kinanti mencomot topik lain.
Ana melirik pada Wiyan. Dia juga menyadari kesibukan Restu membuatnya jarang bertemu. Bahkan sebulan terakhir nyaris tak bertemu.