Dari atas panggung Restu tak lagi melihat Ana. Namun ia tak bisa meninggalkan acara sampai selesai. Ada banyak pertanyaan yang kini timbul di benak Restu. Tapi ia masih harus fokus pada acara promosinya.
Setelah acara selesai, ia segera menelpon Ana. Lama suara telepon berdering, Ana tak lantas menjawabnya.
Ana tak tahu kenapa ia enggan mengangkatnya. Padahal tak ada alasan kuat dirinya boleh merasakan perasaan tak nyaman ini.
Restu kembali menelpon Ana.
Ana kembali mempertanyakan kenapa ia bersikap seperti ini pada Restu. Ia menarik nafas, berusaha menetralkan perasaan tidak nyaman ini, kemudian mengangkat telepon dari Restu.
“An, kamu kenapa?”
Pertanyaan pertama yang muncul setelah Restu mengucapkan salam.
Ana terdiam.
“Kenapa?” tanya Restu lagi.
“Ga apa-apa,” jawab Ana lesu. Sulit sekali berbohong bagi Ana saat ini.
“Kenapa pergi? Katanya kamu mau ikut antri saat book signing?”
Ana sedang berusaha menetralkan hatinya.
“Aku, ga enak badan.”
Restu menghela nafas.
“Kalau sakit kenapa harus datang? Sekarang kamu di mana?”
Terdengar suara Restu yang khawatir.
“Di angkot.”
“Kamu masih kuat, kan? Atau saya susul kamu, ya?”
“Ga usah,” ucap Ana pelan. “Aku masih kuat, kok. Cuma ga enak badan ringan aja.”
“Ya sudah. Hati-hati, ya. Sampai rumah langsung minum obat, terus istirahat.”
“Iya.”
Ana menutup telepon setelah sepatah dua patah kata penuh cemas dari Restu.
Ana kembali menghela nafas. Dalam hatinya, menyalahkan Restu kenapa selalu perhatian pada dirinya. Ia kembali mengingat, sejak dulu Restu memang perhatian padanya. Itu yang membuat Ana merasa ada hati yang istimewa untuknya. Tapi sampai detik ini tak ada kalimat pengakuan apalagi pernyataan jelas.
Wajarkah jika perasaan tak nyaman ini ia sebut sebagai cemburu? Bolehkah ia cemburu?
Beberapa hari Ana terus terganggu dengan perasaan aneh ini. Berulang kali pula ia meyakini bahwa ia tak seharusnya punya perasaan semacam ini.
Belum hilang rasa tidak nyaman di hati Ana, ada satu hal yang membuat Ana semakin tidak nyaman. Bahkan ini lebih menyedihkan.
Sore itu, sepulang mengajar, Ana melihat ada sebuah mobil hitam mentereng terparkir di depan rumahnya. Ana menduga, mobil itu mungkin salah satu pelanggan Abim yang hendak memperbaiki alat elektroniknya. Tapi kemudian ia menggeleng, mana mungkin orang kaya dengan mobil mentereng ini memperbaiki alat elektroniknya ke tempat sederhana ini.
Ia abaikan pertanyaan siapa pemilik mobil ini dan masuk ke rumahnya.
Belum sampai pintu rumahnya, seorang gadis kecil dengan dres bermotif bunga berlari ke arahnya. Anak yang tempo hari datang ke kedai cabang Hesti dengan histeris mencari ayahnya. Ayah Rose, ayah Ana juga.
Seketika Ana membeku. Ayahnya tahu alamat rumahnya.