Restu masih ada jadwal roadshow di kota ini. Ini sebuah rezeki besar untuknya. Buku pertamanya berhasil menarik banyak pembaca. Di tambah kabar kedekatannya dengan penulis Kim membuat kabar keduanya makin naik di kalangan pembaca setia. Hingga buku keduanya ini kini menjadi sangat booming di berbagai platform berbagi. Kutipan dari kalimat yang ada di novelnya berhasil mempesona para pembaca.
Wajah karismatik Restu pun jadi salah satu penarik pembaca remaja yang hanya ikut-ikutan, tapi kemudian jadi membaca kedua buku Restu. Bukan hanya buku, pengikutnya di instagram pun naik drastis. Yang banyak di komentari netizen tentu saja saat Restu dan Kim satu panggung bersama mempromosikan novel dalam naungan penerbit yang sama.
Restu memang tak banyak memposting kesehariannya, jika tidak berhubungan dengan buku. Akun sosial media ia geluti kembali semenjak novel pertamanya terbit. Zaman sekarang penulis harus eksis di dunia maya, promosi setiap hari dengan cara dan trik masing-masing.
Di antara ribuan pengikut Restu di sosial media, ada Ana yang jadi salah satunya. Ia sengaja membunyikan lonceng pemberitahuan jika ada kabar dari Restu.
“Eh, lusa pada dateng ga ke Plazza? Pak Restu kan, promosi di sana lusa,” kata seorang guru perempuan yang dua tahun lebih tua dari Ana.
Ana menoleh.
“Bisa, ya, dia … udah ngajar, jadi penulis pula. Ngatur waktunya itu, loh,” timpal yang lain.
“Kemarin di IG lagi rame, katanya Pak Restu sama Kim ketauan lagi berduaan di kafe.”
“Yah, patah hati, deh. Kirain karena dia satu yayasan sama kita, bisa memungkinkan buat deketin.”
Yang lain terkekeh mendengarnya.
Semenjak novel kedua Restu meledak, namanya memang sering dielukan. Di sekolah, ramai murid yang minta tandatangan di novel Restu. Bukan hanya muridnya, gurunya juga. Dan, ada yang berubah dari Restu di mata Ana. Dia bukan lagi Restu seperti yang dulu ia kenal. Yang tidak ekspresif.
Kini, senyum tipis Restu mudah sekali tersuguh. Wajar saja, ia milik publik sekarang. Bukan karena terpaksa juga ia tersenyum, ia berusaha menghargai pembacanya.
“Bu Ana, mau dateng?”
Satu pertanyaan tertuju pada Ana yang tak memperhatikan mereka namun telinganya awas mendengar.
“Belum tau, Bu.”
“Kalau mau, kita barengan. Sekalian refreshing.”
“Iya, Insyaa Alloh. Nanti kalau bisa, aku ikut barengan.”
Padahal Ana tak ingin ke sana lagi. Ia lupa membaca flyer di akun milik Restu kalau di sana disertakan foto Kim. Salah satu penulis yang berada dalam satu naungan penerbit yang sama.
Kini, ujian Ana ada pada hatinya. Soal hati. Hati yang perlu ikhlas untuk memaafkan dan hati yang lebih bijak menanggapi perasaan cintanya.
Malam itu Ana pergi ke kedai. Mungkin suasana di sana bisa sedikit menghibur hatinya. Ada Zara yang kini selalu standby di sana.
Zara duduk menemani Ana. Kasir ia titip ke salah satu karyawannya. Tak tega ia melihat Ana yang duduk sendiri dengan segelas es kopi di hadapannya. Meski kata Ana, ia tak masalah sendirian, toh ia menikmati saluran radio yang selalu memutar lagu-lagu permintaan pendengarnya, serta atensi yang kadang menggelitik isinya.
“Tumben banget ke sini, ga janjian sama yang lain?” tanya Zara basa-basi. Sebenarnya ia tahu pasti ada yang mengganggu pikiran Ana sampai datang sendirian ke kedai kopi.
“Takut ganggu, yang lain mungkin lagi sibuk.”
Ada lengang beberapa detik. Ana seperti sedang menimbang untukk bercerita atau tidak.
“Cerita aja,” ucap Zara seakan tahu isi pikiran Ana.
“Zara … aku, lagi berusaha mencerna pertemuan dengan Ayah tempo hari. Apa benar aku sudah benar-benar memaafkan Ayah? Terus, soal istri ayah … kenapa dia bisa berpikir buat membantu Ayah mencari kami?”