Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #87

Kejutan

Tadi, saat Restu menyodorkan kotak cincin yang manis itu, Ana sempat berpikir beberapa saat. Wajah sang ayah muncul beserta ketakutannya akan nasib yang sama seperti sang ibu. Namun, menatap mata Restu membuat ketakutan itu sirna.

Zara benar, dia adalah Restu yang selama tujuh tahun ini selalu ada untuknya, yang bahkan nyaris kehilangan nyawa untuk menyelamatkannya. Kakak perinya. Sirna seketika ketakutan itu dan anggukan kecil menjadi jawaban yang menyakinkan di hatinya.

Restu meminta Ana ikut ke ruangan di toko buku yang jadi tempat berkumpul Restu dan tim penerbitnya, termasuk Kim di sana. Tentu saja Ana merasa canggung. Tapi menunggu di luar pun ia tak akan bisa. Pembaca novel Restu mungkin saja akan menghampirinya dan banyak bertanya soal hubungan mereka.

“Ini benar-benar di luar rencana,” celetuk salah satu promotor. “Pasti akan ada dua respon dari pembaca kamu, Mas Restu. Ada yang tetap setia dengan cerita asmara kamu, atau ada yang kecewa karena sejak awal berharap kamu jadian sama …” si promotor melirik Kim tanpa melanjutkan ucapannya.

Ucapan si promotor terdengar tak menyenangkan buat Ana. Ia tertunduk, merasa bersalah karena berusaha memastikan bahwa Aksara adalah Restu.

“Saya ini penulis, Pak. Yang saya jual, kan, tulisan saya. Kalau mereka benar-benar menyukai tulisan saya, mereka pasti ga terpengaruh dengan sensasi cinta-cintaan,” jawab Restu mantap.

“Ya, semoga saja penjualan novel kamu kali ini bisa tetap seperti novel sebelumnya.”

Makin saja Ana merasa bersalah. Restu merasa ia harus segera membawa Ana pergi dari sini. Setelah beberapa obrolan akhirnya Restu bisa pamit.

Ia menyadari obrolan tadi mengusik hati Ana. Harusnya mereka berjalan dengan rona bahagia sekarang.

Restu merasa harus membawa Ana ke tempat yang menyenangkan untuk mengembalikan moodnya.

“Kita mampir dulu, mau?” tanya Restu.

Ana mengangguk.

Tempat yang pernah ia datangi bersama Kelana. Puncak Paralayang.

“Kamu suka tempat ini, kan?” tanya Restu.

Ana tersenyum tak menyangkal. Bukan karena kenangannya, tapi memang tempat ini indah, apalagi menjelang matahari terbenam.

Dua gelas cokelat panas disimpan berjauhan menjadi jarak pemisah antara keduanya. Duduk menghadap hamparan pekerbunan teh dari ketinggian, sinar jingga yang mulai menyiram kota ini serta udara dingin yang menyentuh kulit.

“Kak Restu, maaf karena sudah membuat acara Kakak sedikit kacau,” ucap Ana.

“Eh? Nggak. Di mana bagian kacaunya? Justru … ini mengejutkan buat saya. Sekaligus menggembirakan.”

Ana tersenyum tipis.

“Tapi aku jadi khawatir, kalau gara-gara ulah aku ini, penjualan novel Kak Restu anjlok. Maaf, aku ga berfikir panjang. Ga memikirkan sampai ke situ.”

Dari suara Ana jelas terdengar penyesalan yang mendalam. Ia tak berani menatap Restu. Bicara hanya dengan menatap hamparan kebun teh di bawahnya.

“Saya sudah bilang, saya ini penulis. Yang saya jual hasil karya tulis, bukan sensasinya. Kamu ga usah khawatir soal itu. Ya, kalau … buku saya ga laku, saya masih punya penghasilan dari mengajar. Meski ga besar, tapi saya rasa tabungan saya masih cukup buat melamar kamu.”

“Eh?” kali ini perhatian Ana tertuju pada Restu. Ia tak mengira kalau arah pembicaraannya jadi ke sana. “Bukan gitu, Kak.”

Kali ini Restu yang tersenyum.

“An, selama ini … saya menunggu kamu lulus kuliah sambil terus memantaskan diri buat kamu. Saya juga sempat ragu, apa pekerjaan saya bisa buat kamu bahagia. Tapi, saya yakin … bahagia itu bukan hanya tentang materi, kan?”

Ana setuju.

“Jadi kamu ga akan khawatir lagi soal itu, kan?”

Ana mengangguk.

“Tapi sekarang saya juga punya kekhawatiran,” celetuk Restu.

“Kekhawatiran? Apa?”

“Kamu menerima lamaran Aksara, apa … kamu sudah tau itu, saya? Kalau seandainya itu bukan saya, apa kamu akan tetap memilih Aksara?”

Ada sedikit kekehan terdengar dari bibir Ana. Secercah ceria mulai terbit bersama matahari yang mulai terbenam.

“Sebelumnya aku masih ragu kalau Aksara itu Kak Restu. Tapi setelah mendengar nama aku disebut dengan jelas, aku yakin itu Kak Restu. Wiyan juga pernah bilang kalau Kak Restu sering main ke studio radio. Aku ga mungkin melakukan hal gila itu, kalau aku ga yakin itu Kak Restu.”

Restu tersenyum lebar.

“Padahal atensi itu, saya … sedang latihan.”

Lihat selengkapnya