Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #93

Pria Yang Menggenggam Setia

Ana baru saja mengunjungi rumah kakaknya. Sekarang, pria itu tinggal bersama istri yang bisa menerima masa lalu Abim. Dan mereka sudah dikaruniai seorang putri kecil berusia tiga tahun. Sementara Ana dan Restu memilih untuk mengambil rumah sendiri. Berjuang bersama dari nol. Bergantian, jika hari Sabtu ia mengunjungi Abim, maka Minggu giliran mereka mengunjungi keluarga Restu.

Hubungan Ana dan keluarga ayahnya pun semakin harmonis. Rose yang membuat komunikasi mereka terjaga. Anak itu sering sekali menguhungi Ana lewat telepon atau video call. Rose benar-benar bahagia bisa punya dua kakak sekaligus. Jika musim libur, mereka akan mengunjungi Ana dan Restu di rumah sederhananya.

Ana dan Restu masih mengajar. Meski, dua tahun belakangan Ana sempat resign dari sekolahnya. Namun, ia memutuskan kembali mengajar di sebuah sekolah non-formal yang mengajari anak-anak yang tak berkesempatan mengenyam pendidikan karena kendala ekonomi. Restu bilang itu untuk mengisi kegiatan Ana agar ia tak kesepian jika hanya di rumah. Setiap hari Restu mengantar Ana terlebih dahulu baru kemudian ia berangkat ke sekolahnya. Restu juga masih aktif menulis. Selepas video lamaran dadakan Restu ramai diperbincangkan, penjualan bukunya tak mengalami peningkatan. Ana yang bilang tak khawatir, akhirnya bicara juga. Kembali minta maaf soal tindakannya yang terkesan konyol.

Namun, selepas berita pernikahan mereka yang dibumbui narasi karangan netizen sendiri. Tentang Restu yang kena friendzone, si kakak kelas yang cuek pada permpuan. Membuat kehaluan pembacanya makin menggila. Seolah karakter pria datar yang diam-diam mencintai, muncul ke dunia nyata. Berkat itu semua, pembelian buku Restu melonjak tinggi. Buku-buku Restu selanjutnya selalu ditunggu terbitnya.

“Sayang, udah belum?”

Ia berjalan ke arah Restu yang baru selesai berpakaian.

“Baru selesai?” tanya Ana mendekat ke arah Restu.

“Kamu udah siap?” Restu balik tanya.

“Udah. Sini duduk dulu,” kata Ana seraya mendudukan Restu di kursi meja rias.

Dengan telaten Ana mengeringkan rambut Restu yang masih basah dengan hair dryer.

“Yang lain sudah jalan?” tanya Restu yang terlihat menikmati sekali belaian Ana di kepalanya.

“Sepertinya belum,” jawab Ana yang kini mulai menata rambut Restu. “Selesai,” kata Ana yang selesai menyisir rambut Restu.

“Terima kasih, Sayangku,” ujar Restu sambil mengecup tangan Ana.

“Makin hari, kamu makin ganteng aja.”

“Kan, ada kamu yang ngurusin aku.”

“Yuk, jalan,” ajak Ana.

“An, aku mau mastiin dulu. Kamu yakin mau datang ke acara reuni ini?”

“Iya. Kinanti mau datang jauh-jauh dari Surabaya. Masa aku ga datang?”

Restu menghela nafas, pasrah. Menuruti kemauan sang istri.

Ini tahun ke delapan pernikahannya. Riak rumah tangga sudah mereka rasakan. Cemburu, minta perhatian, kadang miskomunikasi. Beruntung keduanya bisa menemukan solusi setiap kali masalah datang. Seperti yang sudah mereka bilang di awal pernikahan. Apapun yang mengganjal di hati, bicarakan.

Sesampainya di sekolah yang mengadakan reuni gabungan angkatan, Ana dan Restu bisa dengan mudah menemukan sahabat-sahabatnya. Semua terlihat berbeda dengan gandengan anak-anak mereka. Dari semua sahabat-sahabat Ana, hanya ia yang belum dikaruniai momongan.

Anak sulung Wiyan yang berusia empat tahun bisa sangat akrab dengan Ana dan Restu. Mereka dimanjakan oleh om dan tantenya. Anak kedua Wiyan masih berusia satu tahun. Tapi anak itu juga bisa dengan mudah menempel pada Ana.

Kinanti juga sudah punya momonga, seorang putri kecil berusia enam tahun. Zara, dengan dua putranya yang hampir seumuran dengan anak-anak Wiyan.

Lihat selengkapnya