Liburan sekolah di mulai. Seperti biasa, Dirlan melaluinya dengan sesuatu yang bermanfaat. Ia bekerja lebih giat tanpa meninggalkan kesempatan buat belajar. Ia bekerja di toko 24 jam. Ia bekerja part-time selama 8 jam disana dari jam 4 sore hingga jam 12 tengah malam.
Dirlan mengatur posisi berbagai produk disana serapi mungkin sesuai dengan jenis dan merek masing-masing. Di tengah kegiatannya, suara bel pintu terdengar membuatnya berhenti dan berlari ke arah meja kasir. Ia tidak sempat melihat wajah pengunjung tersebut, hanya sempat melihat dari belakang. Dirlan beralih ke arah cermin. Cermin itu memang sengaja di pasang di posisi strategi yang membantu tugas penjaga kasir di toko tersebut. Cermin itu membantu penjaga kasir bisa mengawasi pergerakan pengunjung di toko tersebut.
Dirlan mengawasi satu-satunya pengunjung tersebut dengan mata awas. Bukan apa-apa, hanya saja gerak-gerik pengunjung tersebut aneh. Berulang kali mengambil dan meletakkan kembali, serta melirik kanan-kiri, seolah memastikan sesuatu. Dirlan bertanya dalam hati, “Apa ia pencuri? Tapi penampilannya terlihat terlalu mahal untuk ukuran pencuri. Apa aku samperin saja?”.
Dirlan keluar dari meja kasir bertepatan dengan pengunjung tersebut yang juga keluar dari kepadatan rak-rak penuh berbagai produk makanan, minuman, dan lainnya. Pengunjung tersebut melotot tajam sementara Dirlan mundur. Ia menatap sekilas produk perempuan di tangan kanan pengunjung tersebut kemudian kembali ke dalam meja kasir bersiap melayani. Sementara pengunjung tersebut terdiam.
“Sampai kapan kamu berdiri diam disitu?”, tanya Dirlan setelah lima menit berlalu dan tidak ada pergerakan sama sekali dari pengunjung tersebut.
Pengunjung tersebut tersentak. Melotot kepada Dirlan membuat Dirlan menaikkan satu alisnya. Pengunjung tersebut menggelengkan kepala mencoba menguasai dirinya sendiri kemudian melangkah menghampiri Dirlan. Menyodorkan ragu-ragu produk di tangannya kepada Dirlan.
“Nggak usah ragu, Ret. Biasa aja.”, ujar Dirlan menerima produk tersebut kemudian men-scan barcode produk tersebut.
Reta melotot mendengar penuturan Dirlan. Bagaimana biasa saja itu pembalut nah Dirlan kan cowok. Kan aneh rasanya, itu yang Reta rasakan. Dirlan terkekeh seraya melaksanakan tugasnya.
“Ini 20 ribu.”, ujar Dirlan seraya menyerahkan belanjaan Reta yang sudah ia kantongi.
Reta mengeluarkan uang 50 ribu-an dari kantong celana training-nya. Menukar uang tersebut dengan belanjaannya sebagai pembayaran. Dirlan menerima uang tersebut, membuka laci kasir untuk mengambil kembaliannya.
“Selamat buat keberhasilannya.”, ujar Dirlan seraya memberikan uang kembalian kepada Reta.
“Makasih. Kamu juga selamat, Dirlan.”, ujar Reta menerima uang kembaliannya langsung memasukkannya ke kantong celananya.
Dirlan menganggukkan kepalanya seraya berujar, “Sama-sama.”. Reta melirik ke kiri dan kanan dengan canggung. Dirlan menatapnya lekat-lekat.
“Ada yang ingin kamu katakan?”, tanya Dirlan.
“Kita satu kelas.”, jawab Reta cepat.
“Aku tahu. Aku melihatnya di website resmi sekolah.”, ujar Dirlan santai.
Reta menghela napas frustasi. Ia ingin mengobrol banyak dengan Dirlan namun ia tidak punya bahan obrolan. Belum lagi tatapan Dirlan, tidak ada maksud mengintimidasi dari cowok itu, tapi ia sendiri terintimidasi. Reta memutar otak mencari. Hingga akhirnya ia membuka suara, “Kamu kerja disini?”, tanya Reta. Sungguh itu pertanyaan bodoh amat Reta sesali ia utarakan.
Dirlan terkekeh mendengar pertanyaan Reta. Dirlan menumpukkan kedua tangannya pada meja kasir, lebih mendekat pada Reta membuat Reta refleks menahan napas.
“Iya, aku kerja disini.”, ujar Dirlan kemudian menarik diri menjauh.
Reta menarik napas tanpa sadar. Dirlan terkekeh, tanpa sadar tangannya terulur mengusap rambut halus milik Reta. Reta tersenyum walau sebenarnya ia gugup di perlakukan seperti itu oleh Dirlan. Cowok berwajah lokal asli Indonesia sama seperti Papanya.
“Kamu masih ada mau dibeli?”, tanya Dirlan kemudian menarik tangannya dari rambut halus milik Reta.
“Kok ngusir?”, ujar Reta cepat.
“Aku nggak bermaksud ngusir, Ret. Hanya saja aku masih ada kerjaan.”, ujar Dirlan.
“Aku bisa bantu.”, ujar Reta cepat.
“Yakin bisa? Bukan pekerjaan ringan loh, Ret.”, ujar Dirlan.
“Aku kuat kok, Dirlan.”, ujar Reta menunjukkan kepalan tangan mungilnya ke wajah Dirlan.
Dirlan menganggukkan kepalanya kemudian keluar dari meja kasir. Ia melangkah ke arah tumpukan pekerjaan yang tadi ia tinggalkan karena kedatangan Reta. Perempuan itu sendiri mengikutinya di belakang. Dirlan meraih pulpen dan map berisi daftar produk toko kemudian menyerahkannya pada Reta. Reta menerimanya dengan tatapan bingung.
“Kamu mau bantu bukan?”, tanya Dirlan, langsung di jawab dengan anggukan kepala oleh Reta. “Tolong data produk-produk yang sudah mau kadaluwarsa.”, ujar Dirlan.
“Oke.”, ujar Reta menyetujui, memeluk map serta pulpen dari Dirlan tadi.
“Yang lengkap ya.”, ujar Dirlan.
“Oke.”, ujar Reta menganggukkan kepalanya.
“Belanjaan kamu bisa kamu simpan disini dulu.”, ujar Dirlan meraih kantongan belanja Reta untuk ia letakkan di meja samping pintu gudang toko.
“Kita mulai mana?”, tanya Reta di saat Dirlan meraih keranjang plastik.
Dirlan menunjuk sudut kanan toko sebagai jawaban. Reta menganggukkan kepalanya sebagai tanda iya. Keduanya pun beralih ke sana. Reta mulai meneliti satu persatu produk yang tertata rapi di rak sudut kanan toko. Ia mencatat tanggal kadaluwarsanya. Untuk produk yang tanggal kadaluwarsanya satu bulan lagi, Dirlan ambil untuk ia masukkan ke dalam keranjang plastik yang di bawanya. Produk-produk tersebut sesuai dengan prosedur kerja toko sudah tidak layak jual lagi. Reta tetap fokus pada pekerjaannya begitupun Dirlan. Walau sesekali Dirlan memandangi lekat-lekat wajah Reta. Sungguh, ia tidak sadar kenapa bisa merasa sedekat ini dengan Reta. Reta yang menjadi alasan betapa sulitnya kehidupannya di sekolah tahun lalu. Bukan salah Reta memang sih. Salahkan penggemarnya yang terlalu fanatik.
“Kamu kerja disini dari jam berapa?”, tanya Reta memecah keheningan.
“4 sore.”, jawab Dirlan tersadar dari lamunannya tentang cewek di depannya.
“Sampai jam?”, tanya Reta lagi.
“12 malam.”, jawab Dirlan dengan nada santai namun membuat Reta langsung menghadiahinya tatapan tajam.
“Kapan kamu istirahat kalo begitu?”, tanya Reta.
“Sepulang kerja, Ret.”, jawab Dirlan terkekeh melihat raut wajah Reta. Tampak menggemaskan.
“Kamu cuma kerja pas liburan sekolah 'kan seperti saat ini?”, tanya Reta penuh harap jawaban iya namun Dirlan menggelengkan kepalanya membuat Reta melotot.
“Aku harus kerja, Ret dan ini menyenangkan kok.”, jawab Dirlan.
“Apakah kamu merasa ini tidak adil?”, tanya Reta.
“Tidak adil bagaimana, Ret?”, tanya balik Dirlan.
“Apakah kamu tidak pernah kecewa pada keadaan kamu ini?”, tanya Reta lagi.
“Keadaan seperti apa, Ret? Keadaanku sekolah sambil kerja? Itu bukan masalah, Ret. Aku malah sangat beruntung. Aku bisa sekolah. Aku punya kesempatan buat memperbaiki perekonomian keluargaku. Aku punya kesempatan meraih mimpiku. Banyak orang-orang di luaran sana tidak mendapatkan kesempatan itu, Ret. Mereka tidak bisa menamatkan pendidikan mereka bahkan ada yang tidak pernah sekolah. Mereka berakhir menjadi pekerja kasar. Aku akui kita membutuhkan mereka di pekerjaan itu namun itu pekerjaan beresiko dan bisa saja memaksa mereka bekerja hingga usia tua.”, jelas Dirlan panjang lebar.
“Aku kagum sama kamu.”, ujar Reta singkat membuat Dirlan yang semula menatap ke arah produk-produk di depannya menjadi menoleh menatapnya lekat-lekat. “Aku tahu kamu mengalami kesulitan di dua semester kemarin karena aku, jadi,...”, belum ucapan Reta selesai, Dirlan lebih dulu menyela.
“Bukan karena kamu, Ret. Kamu tidak bertanggung jawab atas kesulitan aku di dua semester kemarin.”, ujar Dirlan.
“Bukan karena aku bagaimana? Aku bertanggung jawab. Arsel ngelakuin itu semua ke kamu karena aku. Aku tidak tahu apa yang ada di otak Arsel...”, kembali lagi Dirlan menyela.
“Kamu. Kamu pengisi otaknya.”, ujar Dirlan.
“Aku sangat benci fakta dia mengagumi aku.”, ujar Reta kesal seraya menatap ke depan.
“Kalo aku yang mengagumi kamu, apakah kamu benci?”, tanya Dirlan.
“Hah?”, Reta melongo.