Rapor Reta & Dirlan

PinkGreen_0718
Chapter #3

Bab 3

Pagi ini seluruh anggota keluarga Reta berkumpul di kediaman Reta, keluarga Leon pun hadir dalam pertemuan rutin tiap tahun ini. Pertemuan dalam rangka memperingati hari berpulangnya nenek Reta, Anita Russeli. Mereka akan berangkat bersama ke tempat dimana Nenek Reta dimakamkan, setelah sarapan bersama.

Pertemuan rutin itu pun membuat semua pelayan di kediaman Reta menjadi berkali-kali lebih sibuk dari biasanya. Berlalu lalang dari dapur ke ruang makan membawa berbagai jenis hidangan. Menyajikannya tanpa menimbulkan keributan di meja makan. Sementara kepala koki yang berdiri di sisi kanan Aleandra sang kepala keluarga tampak begitu handal memberitahukan manfaat bagi kesehatan segala jenis hidangan yang telah tersaji kepada tuan rumah dan para tamu.

Leon sangat tidak menyukai pemandangan seperti itu walau di rumahnya sebelas duabelas dengan pemandangan tersebut. Reta tertawa tanpa suara melihat raut tidak suka di wajah Leon, menarik perhatian Mama Leon. Sungguh Mama Leon sangat menyukai melihat Leon bersama dengan Reta. Mama Leon memang begitu berharap akan dari keturunannya yang menikah dengan keturunan Aleandra.

Setelah pelayan selesai menyajikan semua hidangan di meja makan disusul oleh kepala koki yang juga sudah selesai dengan tugasnya, dua keluarga pun langsung mulai menyantap hidangan pagi mereka tanpa suara. Suasananya kaku. Hanya suara adu alat makan yang terdengar hingga salah satu sepupu Reta membuka suara, Steven, anak pertama dari Tante Della dan Paman Theo.

“Aku sama sekali tidak suka suasana saat ini. Cobalah untuk lebih santai.”, ujar Steven yang membuat Leon dan Reta kompak tersenyum.

“Betul, Nenek tidak akan suka kalian tampak sedih dan murung begini hanya karena hari ini hari kepergiannya selama-lamanya.”, ujar Dion menyetujui ucapan kakaknya.

“Reta pasti lebih suka suasana santai penuh tawa dari pada suara kaku begini?”, tanya Risal, adik Steven dan Dion kepada Reta seraya mengedipkan mata.

“Tentu saja, aku sangat menyukai kalian.”, jawab Reta.

“Tapi, aku menyukai suasana ini.”, ujar Sisil, sepupu Reta yang duduk tepat di samping Reta, anak dari Paman Adam dan Tante Pita. Sepupu yang paling suka cari masalah dengan Reta.

“Aku tidak menanyakan pendapat kamu.”, gerutu Risal, membuat Sisil langsung mendelik ke arahnya. Dua sepupu ini memang tidak akur. Untung mereka tidak duduk berdampingan. Ada Rasya kembaran Sisil yang duduk di tengah keduanya.

“Jangan bersikap tidak adil, Risal.”, ujar Pita memperingati. Pita ini adalah satu-satunya menantu perempuan di keluarga Aleandra karena itu ia menjadi kesayangan Nenek Reta dan itu membuatnya menjadi sosok yang begitu angkuh dan egois. Ia benci kalo para keponakannya lebih menyayangi Reta ketimbang putrinya.

“Jangan berdebat.”, ujar Aleandra menengahi.

Semuanya pun langsung diam dan melanjutkan sarapan mereka dalam keheningan membuat Mama Leon jadi kesal karena belum mengutarakan apa yang ia inginkan. Ia harus segera menemukan moment tepat sebelum pertemuan ini berakhir. Mama Leon memandangi Reta dan Leon bergantian mencoba menemukan interaksi manis antara keduanya. Tepat sekali, Reta mendekatkan ke Leon sambal mangga yang cowok itu inginkan. Ia bias menggunakan moment tersebut.

“Reta dan Leon tampak manis bersama.”, puji Mama Leon menarik perhatian semua orang di ruang makan, termasuk keduanya yang menjadi objek pujian. Mereka saling menatap satu sama lain, bertanya lewat tatapan mata. “Kita bisa menjodohkan mereka sepertinya. Bukankah menyenangkan, Rina, kalo kita menjadi besan?”, celetuk Mama Leon di akhiri dengan satu kalimat tanya untuk Rina, Mama Reta.

Darren, Kakak Leon mengambil segelas air putih di sisi kananya, meneguknya sebagai upaya untuk meredam kekesalannya. Ia adalah orang yang paling tidak setuju kalo Reta dan Leon bersama lebih dari sahabat. Dua pasangan kembar di ruangan tersebut juga sangat tidak menyetujui Reta dan Leon bersama.

“Leon, kamu peringkat berapa kemarin?”, tanya Rina pada Leon membuat Mama Leon mengernyit heran. Tidak paham. Semua orang di dalam ruangan makan tersebut juga heran kenapa Rina mempertanyakan hal itu.

“Peringkat 210, Tante.”, jawab Leon santai, di hadiahi delikan tajam oleh kedua orang tuanya. Rasanya Leon mau protes, ia santai bukan berarti ia bangga dengan peringkat rendah tersebut.

“Lebih baik fokus belajar untuk saat ini ‘kan, Leon? Kamu perlu menaikkan peringkat.”, ujar Rina.

“Mereka bisa saling membantu, Rina. Aku dengar Reta payah dalam mata pelajaran olahraga.”, ujar Mama Leon.

“Tetap saja, aku tidak setuju mereka di jodohkan. Saat ini adalah waktu terpenting buat mereka. Mereka harus fokus dan menghindari hal-hal yang dapat mengganggu termasuk perjodohan. Aku harap ini pertama dan terakhir kalinya membahas tentang perjodohan.”, ujar Rina tegas tidak mau di ganggu gugat.

“Kami juga tidak mau di jodohkan.”, ujar Reta dan Leon kompak.

“Memang menyenangkan jika hubungan dua keluarga bisa lebih di pererat lagi tapi memaksakan kehendak juga bukan hal baik. Mungkin Sisil akan lebih cocok bersama Leon.”, ujar Pita mengundang seulas senyum terbit di wajah Sisil yang sebelumnya mendung mendengar celetukan Mama Leon.

“Saya yang tidak setuju kalo Sisil sama Leon. Mereka tidak cocok.”, ujar Mama Leon sewot menghapus senyum di wajah Sisil.

“Sudah-sudah.”, ujar Aleandra tegas membuat semuanya kembali sibuk dengan makanan masing-masing.

Setelah selesai sarapan, dua keluarga tersebut langsung berangkat ke tempat Nenek Reta dimakamkan. Mereka pergi menggunakan 6 mobil. Sisil begitu senang karena bisa satu mobil dengan Leon tanpa Reta karena sepupunya itu satu mobil dengan sepupu-sepupunya yang lain, Steven bersaudara.

¥¥¥

Reta mengernyit heran kala mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya begitu keras dari luar. Reta mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang masuk. Reta bangun dari berbaringnya dan menyibak selimut yang menyelimuti tubuhnya sepanjang tidur siangnya. Sehabis dari tempat neneknya dimakamkan.

Reta turun dari tempat tidurnya. Melangkah ringan menuju kamar mandinya. Ia disana mencuci tangan dan mukanya. Setelahnya, pintu kamarnya menjadi tujuan langkah kakinya. Entah siapa di balik pintu tersebut namun Reta sangat tidak suka caranya. Seseorang tersebut mengetuk pintu kamarnya terlalu kasar. Tangannya nanti pas sakit akibat tingkahnya sendiri. Reta memutar handle pintu kamarnya, menariknya ke dalam hingga menampakkan seseorang yang sedari tadi mengetuk pintu kamarnya begitu kasar. Reta terbelalak.

“Arabella?”, gumam Reta menyebut nama seseorang tersebut. Salah satu teman se-angkatannya.

“Hai, Ret.”, sapa Arabella dengan ringan. Mengangkat sebelah tangannya.

“Apa yang kamu lakukan di rumah aku?”, tanya Reta mengabaikan sapaan Arabella.

“Aku mulai hari ini kerja disini.”, jawab Arabella santai.

“Bukannya kamu anak orang kaya, ya?”, tanya Reta seraya menatap Arabella penuh selidik.

“Aku nggak suka bergantung pada kedua orang tuaku, jadi, ya, aku kerja.”, jawab Arabella, terdengar ringan.

“Terserah. Ada apa? Kamu tadi mengetuk pintu kamarku terlalu kasar.”, ujar Reta ketus.

“Makan siang sudah siap. Bi Dian meminta aku untuk memberitahu kamu.”, ujar Arabella.

Reta mengangguk mengerti. Ia menutup rapat pintu kamarnya tanpa melepas tatapan matanya dari gerak gerik Arabella. Sungguh, ia sangat tidak menyukai kehadiran Arabella di rumahnya. Seolah ada alarm peringatan bahwa kehadiran Arabella ini dapat menimbulkan kekacauan. Firasat Reta begitu kuat. Senyum terulas di wajah Arabella dan itu sangat tidak manis dimatanya. Tatapan matanya datar tapi menyiratkan sesuatu. Reta menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir penilaian buruknya pada Arabella. Ia mulai melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Sebelum duduk, “Nyonya Dian, tolong disiplinkan pelayan baru bernama Arabella. Ia sangat tidak sopan.”, ujar Reta seraya mengulas senyuman untuk Dian, kepala pelayan di rumahnya.

Lihat selengkapnya