Retak

FAKIHA
Chapter #1

1. Satu Langkah

23 Juli 2018

SEOLAH aku hanya mengarungi alur kehidupan tanpa tahu takdir akan membawaku ke arah mana. Usiaku saat ini menginjak tujuh belas tahun. Aku duduk di kelas sebelas IPA B, masih menggunakan kurikulum dua ribu tiga belas.

Aku memiliki tekanan yang tinggi dari para pelaku perundungan. Naasnya aku terlalu polos untuk dimanfaatkan oleh orang sekitarku. Aku tidak memiliki keberanian apa pun. Aku selalu diam ketika dirundung. Aku penakut sekaligus pemalu. Teman-teman dekatku pun enggan membelaku, justru diantara mereka malah menjadi bagian pelaku perundungan padaku, Nala. Setiap kata-kata yang kurang ajar selalu dilampiaskan padaku.

Pada kenyataannya aku masuk dalam lingkaran presentase 42,2 persen di Indonesia menjadi korban bullying. Angka yang cukup tinggi, sayangnya selalu disepelekan. Siapa yang akan tahan dengan hinaan secara verbal maupun fisik, dan dikucilkan karena bukan dari kalangan menengah atas?

“Hai kebo wadon,” sapa Dani dengan mengejek. Dia merupakan adik kelasku, salah satu pelaku perundungan secara verbal. Kebo wadon merupakan hewan yang berasal dari bahasa Jawa, yaitu kerbau betina, mereka memanggilku dengan kata itu. Dani itu memiliki sifat yang lebih buruk dari apa pun. Mukanya agak bulat tapi tirus agak kurus, kulitnya tan tidak terawat. Wajah dan karakternya sama saja, sama-sama di bawah standar ketentuan.

Aku hanya berjalan santai saat melewati koridor kelas mereka, aku sengaja menulikan pendengaran dengan cara tidak menggubris hinaan mereka. Padahal otakku sudah mendidih ingin melawan. Namun apa daya, jumlah mereka banyak. Sekitar enam orang.

“Azfa...” seseorang memanggilku. Suaranya terdengar aneh tapi sangat memenuhi indera pendengaranku. Dia selalu bersuara manja. Aku menghentikan langkah sekaligus menghela napas kasar. Nala, dia salah satu orang terdekat yang mengakui aku sebagai sahabatnya. Kami memang cukup dekat. Bayangkan saja, kami berteman dan satu kelas dari kelas tiga SD sampai sekarang. Tentu saja, kami dekat karena suatu alasan, dia bisa memanfaatkanku.

Jujur saja, aku sebal dengan hal itu. Seharusnya aku tidak pernah mendekatinya sebagai teman. Aku tidak ingin berteman lagi dengannya. Mungkin saja, jika aku tidak berteman dengannya, mungkin aku tidak akan pernah mengalami yang namanya tekanan hidup. Dan mungkin saja, Nala tidak akan memiliki teman. Sifatnya tidak sebaik wajahnya.

Dia sangat manipulatif. Aku masih bertahan karena aku orang yang tidak enakkan untuk menolak. Aku benar merasa bodoh.

“Pinjam buku Bahasa Indonesianya dong! Aku lupa tidak mengerjakan tugas.” Aku memutar bola mata malas. Sebelumnya aku selalu memberikan apa pun yang dia inginkan. Tapi sekarang, aku tidak ingin lagi dibodohi. Percuma saja, otakku cerdas dalam akademik, tapi di kehidupan nyata malah melebihi orang bodoh di dunia ini.

“Kamu bisa kerjakan sendiri. Bukannya kemarin dikasih waktu satu minggu buat mengerjakan? Kenapa kamu tidak mengerjakan?” Stok kesabaranku sudah habis dimanfaatkan oleh semua orang karena aku terlalu bodoh. Tentu saja bukan terlalu baik. Terlalu baik dan bodoh itu memiliki arti yang berbeda. Ya meskipun terlihat selaras.

“Yaelah pelit banget sih?” Nala selalu bertindak tidak tahu diri. Itu hanya kata-kata yang seharusnya tidak perlu dikasihani.

“Sebentar lagi bel masuk, permisi.” Aku sengaja menghindarinya. Jujur saja, kenapa Nala harus lahir di dunia ini? Kenapa sifatnya tidak secantik wajahnya? Dia memang memiliki banyak uang, tapi tidak memiliki otak. Ya Allah, boleh kah aku kutuk dia sekarang? Dan bisa-bisanya dia masuk ke kelas sebelas B, dimana nilai di kelas B tergolong orang-orang yang encer. Tidak beda jauh dengan kelas A. Ini bukan iri, tapi aku sebal saja bisa selalu sekelas dengannya.

“Azfa!” Viana dengan suara melengkingnya memanggilku. Aku segera duduk di sampingnya. Sudah sebulan ini aku pindah duduk dengan Viana, awalnya aku duduk dengan Nala di minggu awal.

“Sudah selesai Bahasa Indonesianya? Tadi Bu Dianra minta agar semua anak mengumpulkannya sebelum ulangan harian dimulai.” Aku mengangguk. Aku mengambil buku Bahasa Indonesia yang sudah aku kerjakan.

“Kamu masih diganggu sama mereka, lagi?” Aku hanya mengangguk. “Kenapa tidak serang balik saja sih?” Viana merasa geram dengan semua aksi diamku.

“Tidak semudah itu. Lagi pula aku belum cukup memiliki keberanian. Jumlahnya tambah banyak. Belum lagi," belum sempat aku menjelaskan, Nala sudah heboh masuk ke dalam kelas dengan kata-kata yang menjijikkan.

“Azifong, tadi pacar kamu Nian nyari kamu tuh.” Nala—si tukang fitnah—dia sengaja menggodaku. Padahal kenyataannya aku tidak pacaran sama sekali. Awalnya Nian dijodoh-jodohkan dengan Nala. Lalu dengan mudahnya anak itu melemparkan hal itu padaku. Dan berakhir sampai setahun ini aku menjadi bulan-bulanan digodai oleh semua orang. Aku benar-benar membenci orang-orang itu, termasuk orang yang tidak salah pun menjadi sasaran kebencianku. Itu juga belaku untuk Nian. Aku tahu, dia tidak salah, tapi tetap saja, karena mereka semua aku jadi membencinya. Bahkan, dia bernapas pun sangat salah.

“Azifong, kok diam saja sih?” Aku risih dengan panggilan itu.

“Bisa tidak, tidak perlu memanggil aku Azifong? Aku punya nama. Jadi tidak perlu susah-susah mengganti nama orang atau melesetkan. Tidak sopan.”

“Ya elah, aku hanya bercanda saja. Baperan sekali sih.”

“Kalau aku panggil kamu dengan panggilan yang kamu tidak suka, apa kamu tidak risih?” tanyaku dengan mengintimidasi. Nala hanya diam. Aku cukup lelah untuk semua ini. Aku juga malas untuk berdebat dengannya. Pada akhirnya aku memutuskan untuk membalas apa yang mereka lakukan. Mereka berhasil membuat aku mengalami tekanan batin setiap hari.

“Kamu kenapa sih, sensitif sekali?” tanyanya. Sangat tidak tahu diri. Aku menahan napas, menatapnya dengan lekat. Tanganku terkepal di atas meja.

“Aku? Aku kenapa? Bukannya kamu yang membuat sahabatmu ini tidak nyaman. Berhenti memanggilku Azifong, aku punya nama yang baik, tidak perlu diubah-ubah.” Nala terkejut. Aku tidak selalu memperlihatkan kemarahanku pada siapa pun. Aku selalu memendamnya, tetapi ketika amarah itu meluap, itu artinya orang yang bersangkutan telah melakukan kesalahan besar.

“Aku hanya... ” Aku sengaja memotong ucapannya.

“Hanya bercanda?” tebakku. Tentu saja, pelaku perundungan akan mengatakan hal itu. Alasannya terlalu pasaran. Menyebalkan. “Tidak lucu.” Segala sesuatu yang berkaitan dengan Nala, anak itu hanya menjadi benalu yang tidak berujung. Aku kembali duduk mengambil napas panjang supaya bisa tetap tenang. Aku tidak peduli, ada banyak pasang mata di kelas ini merasa terkejut dengan perubahan karakterku dengan amarah yang tiba-tiba meluap. Ruang kelas menjadi hening.

Nala sudah kembali ke tempat duduknya. Entah apa yang akan dipikirkannya, aku benar-benar tidak peduli.

“Aku tidak menyangka kamu bisa seberani itu untuk memperingatkannya di depan banyak orang.” Viana cukup takjub dengan perubahanku yang mulai membaik.

“Aku tidak bermaksud mempermalukannya di depan semua orang, kamu tahu itu, bukan?” kataku. Aku sengaja membela diri. Tentu saja, aku tidak berniat jahat dengan melampiaskan amarahku di depan semua orang. Itu terlalu buruk jika akunmelakukannya dengan sengaja.

“Itu sebuah kemajuan. Seharusnya dari dulu kamu melakukan hal itu," ujar Viana menyemangati. Dia orangnya sangat baik dan tulus, namun sayangnya moodnya selalu berubah dalam hitungan menit.

“Ya, seharusnya.” Aku meyakinkan diri jika aku mampu bertahan diri ketika mereka tiba-tiba menyerangku.

Bu Ria masuk ke ruang kelas kami, kaca mata bulat dan hijab pashmina menjadi ciri khasnya. Setelah mengucap salam, kami masuk pada materi pelajarannya. Bu Ria orang yang sangat menyukai story telling, setiap materi yang dibawakan selalu diselingi cerita menarik yang berkaitan dengan materi yang diajarkannya. Seperti halnya saat ini,

“Kita masuk pada bab berikutnya, halaman tiga di buku paket!” Perintah beliau dengan nada tinggi. Semua anak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing membuka halaman buku paket yang bu Ria titahkan.

Bu Ria mulai menjelaskan,“Komponen ekosistem terdiri dari tiga kelompok utama: produsen, konsumen, dan dekomposer. Seperti yang kita ketahui, produsen adalah organisme yang mampu membuat makanan sendiri melalui proses fotosintesis, seperti tumbuhan hijau yang menggunakan energi matahari untuk mengubah karbon dioksida dan air menjadi glukosa dan oksigen. Contoh produsen meliputi pohon, rumput, ganggang, dan bakteri fotosintesis di dalam laut.”

“Konsumen adalah organisme yang mendapatkan energi dengan mengonsumsi organisme lain. Mereka dibagi menjadi beberapa tingkatan trofik, termasuk herbivora (yang memakan tumbuhan), karnivora (yang memakan hewan lain), dan omnivora (yang memakan berbagai jenis makanan, termasuk tumbuhan dan hewan). Contoh konsumen adalah kambing yang memakan rumput, singa yang memangsa zebra, dan manusia yang makan daging dan sayuran,”

“Dekomposer adalah organisme yang memecah sisa-sisa organik dari produsen dan konsumen menjadi senyawa sederhana, sehingga nutrien dapat kembali ke tanah dan menjadi tersedia untuk produsen. Contoh dekomposer termasuk bakteri dan jamur. Misalnya, bakteri tanah dan jamur dapat mengurai daun mati menjadi bahan organik sederhana, seperti humus, yang kemudian digunakan oleh tumbuhan sebagai sumber nutrisi. Dengan interaksi antara produsen, konsumen, dan dekomposer ini, siklus energi dan materi terjaga dalam ekosistem.”

Lihat selengkapnya