Tanpa aku sadari lebih jauh, jika lingkungan tempat aku tumbuh dan berinteraksi memiliki peran penting dalam membentuk sikap, nilai, dan cara berpikir terhadap orang lain. Hal itu sangat penting untuk menyadari pengaruh lingkungan ini dan berupaya membentuk sikap yang inklusif, terbuka, dan empati terhadap semua orang di sekitar kita.
Aku selalu berpikir jika orang kaya akan melakukan tindakan seperti apa yang mereka inginkan tanpa menaruh empati apa pun pada orang sekitarnya. Aku mendapat pikiran buruk itu selama bertahun-tahun akibat melihat orang sekitarku. Aku lelah menjadi orang miskin. Aku ingin beralih takdir menjadi orang yang mampu, tidak perlu menjadi miliarder ternama nomor satu di dunia, asalkan kebutuhan dengan sedikit keinginan tercukupi saja, itu keinginan yang terpendam. Aku lelah dibanding-bandingkan dengan sepupuku dari kecil sekaligus dikucilkan oleh saudara besar ibuku.
“Mbak, beras habis, kata Ibu, tolong beli dulu pakai uang Mbak, nanti kapan-kapan diganti," kata Aditya Putri. Anak itu berhasil menyadarkan lamunanku. Dia adikku, yang memiliki selisih lima tahun. Sekarang dia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas enam.
Selain memikirkan pelajaran di sekolah, aku juga harus merangkap mengatur keuangan di rumah. Semua biaya rumah aku yang mengatur, baik uang keluar maupun uang masuk. Aku selalu membantu ibu untuk membuatkan kue lalu dititipkan ke toko khusus kue. Dan hasilnya sangat memuaskan, bisa untuk bertahan hidup sekaligus biaya sekolah untukku dan Aditya. Dan keuangan kami hampir tiga bulan ini mulai membaik.
Aku segera pergi membeli keperluan yang lainnya juga. Bapak juga berdagang di Jakarta. Hidupku tidak ada yang menarik. Terlalu datar. Hanya beberapa menit, aku sudah sampai di tempat tujuan, aku segera membeli beras dan keperluan bahan lain yang aku beli.
Setelah selsai aku aku segera bergegas pulang.
Tidak memakan waktu lama untuk sampai di rumah, aku segera membereskan. Besok hari Minggu, malam ini aku ingin membaca banyak buku yang aku pinjam di perpustakaan tadi pagi. Jika di Jawa Tengah, hari Sabtu tetap berangkat sekolah, beda dengan sekolah di Jakarta atau kota besar lainnya.
Dari kecil, aku sudah jatuh hati dengan buku. Entah apa pun temanya. Aku memiliki mimpi yang begitu besar, aku ingin menjadi seorang dokter. Tapi ketika melihat ekonomi keluarga yang agak kritis, sepertinya aku harus melangkah mundur dari impian itu sebelum langkah itu dimulai. Aku tidak pernah mengatakan apa yang aku inginkan, aku sering mendapat penolakan dari orang tua maupun orang sekitar. Orang tuaku juga tidak pernah sedikit pun menanyakan, "Azfa, kamu mau apa?"
Hal itu membuat diri ini tidak memiliki rencana apa pun untuk kehidupanku dalam lima tahun ke depan.
“Kamu tidak perlu membeli barang-barang seperti itu, Azfa. Tidak berguna. Sayang uangnya.” Itu penolakan dari ibu saat aku masih berusia enam tahun. Aku masih mengingatnya, saat aku melihat Azakiya memiliki gelang pernak-pernik banyak dengan warna biru muda dan warna yang cantik lainnya. Katanya dibelikan oleh budenya (kakak dari ibunya).
“Tapi itu bagus, Ibu. Azfa mau beli juga," kataku dengan memaksa. Aku masih berusaha menegosiasi. Namun, ibu tidak mendengarkan aku sama sekali.
“Harganya mahal, tidak ada duitnya. Lebih baik buat beli keperluan yang lain.” Waktu kecil aku selalu lapar mata. Aku selalu ingin ini dan itu, seperti anak-anak kecil pada umumnya. Tetapi, ibu dan bapak selalu menolaknya karena katanya mahal. Padahal, waktu aku masih kecil, ekonomi mereka terbilang cukup. Namun sayangnya mereka tidak pernah memberikan apa pun yang aku mau. Setidaknya aku mau keinginanku satu saja diberikan. Mungkin sesekali orang tuaku memberikan aku mainan, tapi banyaknya ditolak. Hal itu berlanjut sampai sekarang. Aku menjadi seorang yang tidak percaya diri.
Aku suka gelang pernak-pernik yang lucu, warnanya bagus. Tapi sekarang, ketika punya uang pun, aku malah tidak ingin membeli hal itu. Ada satu lagi, aku suka kue ulang tahun. Dan waktu kecil, aku pernah minta kepada bapak, “Bapak, Azfa pengen kue ulang tahun kayak Dilla. Katanya Bu Dini jual. Aku mau beli ya, Pak?” Aku masih polos di usia enam tahun itu, dan bapak mengatakan tidak ada, dan tidak perlu membeli.
Waktu itu aku nekat membeli kue ulang tahun di Bu Din. Ternyata, Bu Din tidak menjual. Bodoh sekali, aku percaya pada Dilla yang katanya Bu Din berjualan kue ulang tahun. Selain mendapat penolakan dari orang terdekatku, aku juga selalu merasa bodoh karena sering dibohongi orang sekitar. Aku hanya bisa menangis di belakang rumah agar tidak ada orang yang mendengar karena kalau ada yang mendengar, pasti aku akan di marahi.
Banyak orang di luar sana berhasil meraih impiannya. Meskipun seisi dunia mengatakan tidak berhasil. Mereka akan tetap tangguh memperjuangkan apa yang diimpikannya sampai berhasil. Mereka punya privilage yang begitu besar, dan mereka memanfaatkannya dengan baik. Entah itu berupa uang, keluarga yang mendukung atau materi yang mereka berikan, atau mungkin dari keluarga yang memiliki koneksi yang begitu kuat. Tentu saja, tidak mudah meraih sesuatu itu. Karena butuh perjuangan sekaligus privilage. Tapi aku juga tidak melupakan sesuatu, sebagian orang yang hidup di muka bumi ini telah gagal meraih mimpinya, entah karena takdir atau memang selalu tidak berhasil, meskipun sudah banyak hal yang mereka lakukan.
Aku duduk sambil membaca buku ditemani segelas teh hijau tanpa gula. Ibu sudah masuk ke kamar, begitu juga dengan Aditya. Anak itu selalu membuat aku emosi. Dia itu manja. Takdir selalu berpihak padanya dengan mudah. Ya, itulah takdirnya. Aku sering iri padanya, tapi aku hanya bisa diam. Aku tolak dengan penolakan dari siapa pun. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain membuang napas.
Tidak terasa, satu jam berlalu. Aku segera melaksanakan salat Isya. Setiap penolakan membuat aku memiliki percaya diri yang rendah, aku takut tidak bisa mengungkapkan apa yang aku mau. Sebenarnya, aku suka berbicara. Tetapi tidak ada orang yang ingin mendengarkan. Alhasil, aku lebih banyak mendengarkan orang lain berbicara.
Setelah melaksanakan salat Isya, notifikasi WhatsApps berbunyi. Aku segera mengambil handphone dan menggeser panel kunci.
Azfa, boleh aku mau curhat?
Tentu saja, akhirnya aku memilih menjadi pendengar orang sekitar. Kadang-kadang aku ingin mengatakan keluhan atau keresahanku, tapi apa daya, aku tidak punya waktu untuk menanyakan apa yang ingin aku katakan. Lebih tepatnya, tidak ada yang peduli denganku, apa lagi tentang keresahanku hidup di muka bumi ini. Mereka selalu berpikir, "Azfa tidak memiliki masalah."Aku segera membalas pesannya.
Silakan,
Pesan baru terkirim belum sampai tiga puluh detik, Diayu sudah menelepon dengan nomor biasa bukan WhatsApp.
“Hai Azfa, malam Minggu mau kemana?” tanyanya dengan antusias. Diayu, akhir-akhir ini dia sedang memiliki masalah yang berat di rumahnya. Namun anak itu selalu terlihat ceria. Tapi sayangnya, bukan aku saja yang menjadi tempat bercerita. Seluruh anak perempuan sekelas kami tahu apa masalahnya. Aku hanya heran, kenapa orang-orang bisa dengan mudahnya bercerita tentang masalah pribadinya ke semua orang?
Tetapi sejenak aku juga berpikir, mungkin dengan cara seperti itu, beban pikiran mereka akan berkurang. Namun, tetap saja, hal itu tidak baik nantinya karena mereka akan tahu titik lemah kita ada dimana. Karena mereka sudah tahu tentang semuanya dari cerita kita.
Aku menghela napas, “Aku tidak kemana-mana. Hanya di kamar sambil membaca buku.” Ya, tentu saja, Diayu orang yang suka basa-basi sebagai pembuka percakapan. Sementara aku kurang suka dengan kalimat basa-basi, rasanya sangat menguras tenaga.
Diayu terkekeh, “Aku heran, kenapa kamu begitu suka dengan buku? Boleh kasih tahu, apa rahasianya?”
“Aku akan memberitahumu rahasianya. Aku harap kamu tidak muntah setelah mendengarnya.” Diayu terkekeh atas candaanku. Sesaat aku menjeda penjelasanku, agar kata-kata yang keluar mudah dipahami sekaligus tidak bermaksud menggurui. “Buku itu menarik bagi pembacanya, seperti non-fiksi yang memberikan informasi yang nyata dan berguna untuk kehidupan sehari-hari, seperti keterampilan praktis, ilmu pengetahuan, atau sejarah. Mungkin penjelasanku terlalu klasik, karena sudah banyak orang yang memberikan penjelasan ini."
“Membaca buku non-fiksi juga memberikan wawasan mendalam tentang topik khusus, membantu dalam pengembangan diri, dan memperluas pengetahuan serta pemahaman tentang dunia di sekitar kita. Bagi banyak orang, kesenangan membaca buku non-fiksi terletak pada keinginan untuk terus belajar dan mengembangkan intelektualitas.”
“Dan buku fiksi seperti halnya novel, bagiku, jendela ke dunia yang luas, di mana aku bisa melihat, merasakan, dan memahami hal-hal yang mungkin tidak pernah kurasakan sebelumnya. Ketika aku membaca, aku merasa seperti berada di tempat lain, mengalami petualangan yang menarik tanpa harus pergi jauh.”
Pernikahan itu selalu ada saja ujiannya. Jika tidak dari orang tuanya, biasanya dari suami atau mertua atau pun keluarga suami. Bisa jadi dari tetangga mau pun saudaranya. Sekalipun aku belum menikah dan usiaku masih di bawah umur, tapi aku sudah paham dan mengerti apa yang terjadi dalam permasalahan rumah tangga dan kadang-kadang aku tahu langkah apa yang harus aku lakukan. Kenapa begitu? Tentu saja, aku sering dijadikan tempat bercerita semua kalangan usia, baik yang sudah menikah atau pun belum.
“Ya memang, tidak mudah untuk menyukai atau membenci sesuatu yang tidak kamu mau. Aku suka buku, kamu tidak suka, ya sudah, tidak perlu dipaksakan. Setiap orang punya selera masing-masing. Menurutku, kalau kamu ingin jatuh hati pada sesuatu, kamu bisa melakukannya dari hal kecil. Misalnya, kamu bisa mencoba membaca komik atau cerita pendek, mungkin hal itu akan membantu kamu sebagai pemula dalam membaca buku."
"Jadi? Ada apa gerangan menelepon saya saat jam-jam yang menyenangkan untuk membaca buku." Aku terkekeh untuk menutup keseriusan tentang buku. Diayu ikut tertawa.