Retak

FAKIHA
Chapter #3

3. Panah Yang Tidak Sesuai Busur

Aku buru-buru melangkah ke ruang kelas. Mulutku komat-kamit mengulang materi biologi yang sudah kuhafalkan sejak semalam. Aku membawa buku paket biologi. Selain lemah dalam PJOK, aku juga sangat lemah dalam hafalan. Sebenarnya ini tes lisan, aku akan mengarang kata-katanya. Tapi lebih baik aku memahami banyak hal dan masuk ke otak dengan rangkaian kata yang kususun sendiri, daripada harus hafalan yang kata-katanya harus pas sesuai buku. Aku sering lupa, tapi ketika tes lisan, rasanya blank.

Saat itu, aku begitu terbenam dalam hafalan, mencoba memahami setiap detail sel yang rumit, hingga tanpa sengaja menabrak seseorang. Buku-buku berjatuhan dan aku terkejut mendongak, melihat Rita, anak kelas sebelah, berdiri di depanku dengan wajah kaget. "Maaf, aku tidak melihatmu," kataku tergagap sambil berusaha membantu mengumpulkan buku-buku yang berserakan di lantai. Rita tersenyum kecil, seakan memaklumi kesibukanku, dan kami pun tertawa bersama, menghilangkan rasa canggung yang sempat muncul.

“Iya, tidak apa-apa,” katanya dengan santai. “Sesibuk itu ya di kelas B, sampai seperti dikejar deadline?” Aku mengangguk saat Rita bertanya hal itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa desas-desus kelas sebelas B sibuk dan ambisiusnya lebih dari budak korporat. Entah apa saja yang ingin kami kejar, yang pasti kebiasaan kami karena melihat sekitar kami ambisius, alhasil kami melakukan hal ini tanpa kami sadari, kecuali Nala. Anak itu tidak seharusnya ada di kelas B.

Entah sejak kapan Dwandra berdiri di samping Rita. Dia adiknya Rita yang hanya memiliki selisih usia 11 bulan. Kami seangkatan. Namun, ketika dilihat-lihat, orang tidak akan percaya jika mereka kakak beradik, apalagi statusnya sebagai kakaknya Dwandra. Dari fisik saja, Rita lebih cocok menjadi adiknya daripada kakaknya. Ketika pembagian wajah terbaik, sepertinya mereka mengantre lebih dulu.

“Memangnya ada hafalan, ya?” Untuk pertama kalinya, Dwandra bertanya sesuatu. Oh, bukan itu maksudku. Kami memang tidak dekat, jadi kami tidak pernah mengobrol satu sama lain. Apalagi bertanya sesuatu.

“Tidak ada. Tapi tes lisan, jam kedua biologi materi hukum Mendel,” jelasku. Aku melihat Diayu melambaikan tangannya di koridor kelas kami. “Permisi,” aku segera bergegas menghampiri Diayu dan Viana yang sedang duduk di depan koridor kelas kami.

“Via, kenapa?” tanyaku. Aku sengaja berjongkok menyejajarkan tinggiku dengannya. Wajah Viana pucat pasi. Diayu dan Viana masih enggan menjawab. “Apa Viana sakit?”

“Lebih dari sakit, Azfa,” jawab Diayu. Mungkin mewakili isi hati Viana. Tentu saja, hal itu membuatku semakin cemas.

“Memangnya sakit apa?” Sepuluh detik berlalu, mereka masih diam.

“Dia habis menembak Aldi.” Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Mataku agak melotot. Aku sangat terkejut dengan hal berani yang Viana lakukan.

"Aldi... anak sekelas kita, bukan?” tanyaku memastikan. Mungkin saja di kelas peminatan IPS ada yang namanya Aldiansyah lagi. Diayu mengangguk. Aku hanya mendapatkan syok setelah mengetahui tentang fakta ini.

“Apa dia menerimanya?”

“Tentu saja tidak.”

“Bagaimana mungkin bisa mereka mengetahui hal ini?” Aku tahu Viana menyukai Aldiyan sejak kelas sepuluh. Dia bercerita banyak tentang Aldiyan. Viana benar-benar menyukai Aldiyan sesuka itu. Kami sama-sama sekelas, tapi waktu itu Aldiyan tidak sekelas dengan aku dan Viana.

“Salah satu squad-nya Aldiyan tidak sengaja membaca buku diary-nya Viana. Terus Viana menulis semua ungkapan isi hatinya di dalam buku diary itu. Tentu saja mereka agak syok. Lalu mereka membacanya di ruang kelas kita.” Lagi-lagi, aku menutup mulutku dengan satu tangan.

“Memangnya semua anak sudah berangkat semua?” Diayu hanya mengangguk. Viana semakin pucat pasi.

“Mereka semua menertawakan Viana.” Aku tidak bisa membayangkan jika berada di posisi Viana.

"Baiklah, aku juga masih syok dengan berita buruk ini," ucapku sambil menatap ke arah jam tangan di lengan Diayu. "Tiga menit lagi bel masuk akan berbunyi." Aku berdiri, namun Viana menolak. Dia tidak bungkam lagi.

"Azfa, aku tidak mau masuk. Aku masih malu."

"Aku bisa bayangkan hal itu," kataku sambil mengulurkan tangan pada Viana. "Aku akan mencari solusinya."

"Apa, coba katakan!" kata Diayu cepat-cepat.

Aku akan mengatakannya di kelas, bukan di sini. Aku sangat yakin jika ideku tidak terlalu buruk. Percayalah!” dengan gontai, Viana bangkit berdiri. Aku memegang lengan tangannya untuk menuntunnya.

Saat kami masuk, semuanya diam. Tentu saja, mereka seperti senang mendapatkan umpan baru untuk membully seseorang. Gerak-gerik mereka sangat terbaca.

“Ya ampun, Viana, jadi selama ini kamu suka sama Aldi?” kata Sila yang mulutnya tidak sabar ingin berceloteh. Senyuman itu mengembang dari bibirnya.

“Viana, kamu tahu tidak sih, itu hal mustahil yang seharusnya kamu lakukan?” Nala berbicara dengan nada mengejek. “Aldiyan itu tipe Esma, bukan kamu.” Semua anak malah tertawa dengan ucapan Nala.

“Tolong berhenti mempermalukan Viana!” kataku dengan tegas. “Yang namanya Aldiyan di sini bukan hanya dia saja.” Aku menunjuk Aldiyan dengan tangan terbuka menunjuknya. “Ada banyak, puluhan bahkan ribuan Aldiyan yang hidup di dunia ini. Asal kalian tahu, Aldi yang dimaksud Viana itu, teman kecilnya.” Semua jawaban yang aku katakan hanya karangan semata.

Lihat selengkapnya