Anehnya, orang-orang bisa mudah menceritakan sesuatu padaku, sementara aku sulit sekali untuk mengatakan apa pun itu. Udara malam semakin menusuk tulang. Ketika di rumah, aku selalu memakai kardigan yang tebal. Sinusitisku akan kambuh ketika berada di udara dingin. Rumahku tidak besar, hanya berukuran enam kali sepuluh meter persegi. Aku suka sekali bercocok tanam, apa pun jenisnya. Di samping rumah, masih ada lahan kosong, mungkin sekitar sembilan kali sembilan meter persegi. Aku manfaatkan untuk menanam sayur.
Aku sangat suka menanam berbagai tanaman, seperti cabai, beberapa pohon tomat, kol, sawi putih, timun, jeruk limau, dan banyak lagi dalam satu lahan. Aku melakukannya dengan cara hidroponik, terkecuali sayur kol dan jeruk limau. Dari hobi menanam yang iseng ternyata bisa menghasilkan uang.
Aku memulai hal tersebut sejak kelas delapan SMP. Beberapa waktu lalu, ada keluarga yang hajatan dan mereka membeli tomat, cabai keriting, dan cabai rawit merah. Hasil panen dan uangnya sangat lumayan. Aku tahu pemasarannya ke mana, waktu itu dibantu oleh kakak dari ibu. Jadi, kalau pas panen, aku langsung menjualnya ke koperasi petani. Tapi terkadang sebelum aku jual ke sana, tetangga sekitar lebih dulu membelinya hingga habis. Jadi, sekarang jarang sekali menjual ke koperasi petani.
Positifnya, Ibu mulai mendukung sesuatu yang sedang aku kerjakan sekarang. Begitu juga dengan bapak. Ini benar-benar menguntungkan, walaupun panennya tidak setiap hari. “Azfa,” Ibu memanggilku.
"Iya, Bu." Aku segera berdiri, meletakkan buku di atas tempat tidur dan membuka pintu kamar.
"Sudah salat Isya belum?"
"Sudah kok. Oh ya, Bu, Bude Indri jadi mau beli tomat sama timun?"
"Iya, tadi pagi sudah diambil. Ini uangnya." Aku mengambil uang tersebut dan membaginya menjadi dua.
"Ini buat Ibu."
"Tidak, ini uang kamu. Ibu masih punya simpanan kok."
"Tidak apa-apa. Insya Allah ini cukup buat aku. Buat modal membeli benih tanaman dan sisanya buat menabung,” kataku. Dengan berat hati, Ibu mengambil uangnya.
“Terima kasih ya, Nduk. Seharusnya kamu bisa merasakan masa remaja kamu dengan baik seperti teman-teman kamu,” kata Ibu. Tiba-tiba beliau memelukku.
“Tidak usah dipikirkan, Bu. Semua sudah ada jalannya. Aku mau istirahat, ya, Bu.” Ibu mengangguk lalu melepas pelukannya dan pergi dari kamarku. Sebenarnya, aku ingin sekali mengobrol banyak dengan Ibu. Tapi tenagaku sudah habis. Aku juga jarang mengobrol. Aku lebih banyak diam dan membaca buku.
Aku tidak bisa mengeluh dengan keadaanku di depan Ibu. Ya, ini semua sudah jalanku. Apa yang bisa aku lakukan? Ingin sekali aku mengubahnya, sekalipun dengan pelan namun pasti. Aku selalu memiliki otak untuk menghasilkan uang. Selama aku sekolah dari SMP sampai SMA sekarang, ibu dan bapak tidak mengeluarkan uang sepeser pun untukku. Tentu saja otakku harus cerdas. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sendiri? Alhasil, aku berjualan dan menanam berbagai tanaman. Dan alhamdulillah, usahaku mampu menghasilkan uang.
Notifikasi pesan WhatsApp masuk. Tidak ada nama yang tertera.
085785****** Azfa, ini aku, Rita. Maaf sebelumnya, aku dapat nomor kamu dari Saqina. Boleh di save?
Aku segera membalas pesannya.
Me : Silakan,
Aku segera menyimpan nomornya. Aku sangat menjaga privasi untuk semua hal tentang kehidupanku. Bahkan foto profil WhatsApp pun aku tidak menggunakan foto diriku karena rasanya malas sekali. Foto profilku adalah rusa di malam hari. Tidak ada arti khusus, hanya suka saja.
Rita : Ngomong-ngomong kamu lagi sibuk tidak?
Me : tidak kok, kenapa? Aku cuman lagi baca buku aja sih?
Rita : Bisa aku tebak sih hehehe
Me : Ya, gitu. Aktivitas aku terlalu membosankan. Kamu lagi luang?
Rita : Iya, lebih tepatnya lagi bosan. Oh ya ngomong-ngomong, pertandingan uji coba kemarin lumayan bagus banget loh. Coba aja, kemarin Dwandra liat aku lagi tanding uji coba itu. Aku pasti udah pamer ke dia sih hahaha
Rita : Sayangnya dia tidak liat. Terus aku cerita sama dia, kalau aku sama hebatnya kayak kamu. Dia tidak percaya. Dia malah tanya, mamangnya Azfa beneran bisa silat?
Aku hanya tersenyum dalam hati. Aku memang sering diabaikan bahkan diremehkan. Mungkin itu makanan keseharian aku.
Rita : Terus aku jawab, bisa lah. Seharusnya Dwandra ikut silat aja, tapi dia malah memilih taekwondo. Katanya silat tidak seru. Padahal silat itu cabang bela diri punya negara kita.
Me : Selera orang memang berbeda. Tapi memang aku belum hebat. Aku belum apa-apanya dibanding dengan kamu.
Rita : Jangan suka merendah begitu, tidak terlalu baik.
Me : tidak kok, memang aslinya begitu.
Rita : Aku pikir kamu bakal memilih tidak merespon pesan aku. Ternyata di luar dugaan, kamu malah balas dengan cepat.
Me : Justru kalau di pesan, aku lebih bisa ngobrol secara leluasa.Tapi kalau mengobrol langsung bawaannya ngeblank. Mungkin faktor jarang bicara sama orang-orang kali ya