Retak

FAKIHA
Chapter #6

6. Pertandingan kelas A VS B

Kelas sebelas IPA B mendadak sibuk dengan kegiatan kelompok. Meja dan kursi siswa di satukan berjajar dengan di ubah menjadi huruf U. Satu kelas berisi dua puluh enam siswa. Kelompok yang lainnya berisi lima orang anggota. Sementara aku hanya mendapat empat orang yang tersisa, yaitu aku, Nala, Dwandra, dan Dimas Pra. Kami semua mendapatkan hanya satu tugas, yaitu melakukan praktikum sistem peredaran darah. Sebenarnya aku tidak terlalu memandang biologi sebagai mimpi buruk, tetapi saat ini keadaannya berbeda. Dua anak yang menjadi anggota kelompokku berhasil mengubah praktik biologi menjadi mimpi paling buruk bagiku, Nala dan Dimas.

“Nala, kesempatan itu tidak boleh dilewatkan,” kata Saqina yang sedang berlalu lalang mengambil stetoskop dan peralatan praktik lainnya. Semuanya telah disiapkan oleh sekolah yang diambil dari ruang laboratorium sekolah kami.

"Apa sih, Saqina?" Nala menyembunyikan rasa gugupnya. Aku hanya berdiri dengan melipat kedua tangan sambil membawa beberapa lembar kertas yang sudah dijilid menggunakan map warna cokelat muda. Dwandra berdiri di sampingku. Semua anak mulai mendengarkan penjelasan Bu Ria.

"Untuk kelompok ketujuh, tolong silakan maju untuk mengambil peralatan kalian!" Aku menoleh ke arah Dwandra dan Nala, berharap salah satu dari mereka maju ke depan. Tentu saja, Nala tidak memiliki keberanian. Untung saja Dwandra dengan cepat melangkah maju ke meja Bu Ria tanpa membuang waktu, mengambil alat-alat yang dibutuhkan seperti stetoskop, tensimeter, kronometer, dan alkohol swab. Kemudian anak itu kembali ke kelompok kami.

"Waktu kalian satu setengah jam. Tolong gunakan sebaik mungkin! Pekan lalu kita sudah mempelajari materinya. Sekarang kalian bisa praktikkan dengan baik. Jangan lupa, buat laporan praktikum karena itu akan menjadi nilai ulangan kalian di bab dan minggu ini." Bu Ria mulai memberikan apa yang kami perlukan sambil sesekali menjelaskan.

"Silakan, mulai!"

Semua kelompok memulai praktikum dengan mengukur denyut nadi dan tekanan darah teman-temannya satu per satu. Aku sengaja mengambil Nala karena anak itu hidupnya perlu dimanfaatkan agar bermanfaat. Dwandra membantu mencatat hasil pengukuran, sementara Dimas lebih banyak diam. Menyebalkan. Aku menajamkan mata menatapnya.

"Apa?" tanyanya seolah tidak merasa bersalah.

"Ini kerja kelompok, tolong bekerja sama! Bukan diam saja," kataku.

"Kamu menyuruh aku?" tanyanya dengan besar kepala. Sepertinya anak ini perlu sesekali ditegaskan. Aku mengucapkan dengan nada pelan tapi masih terdengar oleh kelompok kami.

"Tidak ada yang menyuruh. Aku hanya mengingatkan. Kalau kamu lupa, kita sedang tugas kerja kelompok. Jadi, kita berempat harus berbagi tugas. Kalau kamu tidak ingin mendapat nilai, kamu bisa ajukan diri pada Bu Ria. Masih ada waktu untuk berpikir." Mungkin ini terlalu kejam. Tapi apa yang dilakukan Dimas selama ini dengan merundungku, ini tidak bisa dibandingkan. Dia selalu mengataiku jelek, kurus, tulisan tanjakan, dan dekil. Dan banyak panggilan lain yang mengarah pada ejekan. Herannya, anak ini masih dihormati oleh teman-temannya.

Seharusnya dia sadar, dia tidak sedang hidup di novel remaja dengan tema anak brandal, ketua geng motor, atau anak-anak yang suka membully tapi banyak disukai pembacanya. Kenapa mereka bisa membuat cerita semacam itu? Bagiku, dengan kesadaran yang sangat penuh, pembully tidak akan pernah jatuh hati pada korban bullying-nya. Atau sebaliknya, korban bullying tidak akan jatuh hati pada si pembully. Yang ada, si korban akan mengalami trauma berkepanjangan. Mungkin mentalnya akan cacat. Jika itu terjadi, maka hanya ada di novel romance semata.

Dimas bergerak. Dengan terpaksa, ia memulai melakukan tugasnya. Aku masih menatapnya dengan tatapan tajam. Aku tidak akan membiarkan anak ini tidak melakukan tugas kelompok kami. Pada faktanya, para pembully hanya berani pada korban bullying ketika ada teman-temannya. Tapi ketika sendirian, nyalinya seperti tisu yang tersiram air. Dan aku memanfaatkan hal itu dengan baik. Dwandra lebih serius dari biasanya.

"Azfa, tolong biasa saja menatap Dimasnya! Kamu tidak berniat memakannya, kan?" Nala mengatakan itu dengan setengah ketakutan. Aku melirik Nala dengan tajam. Mereka berdua inilah yang membuatku tertekan di sekolah. Dan aku akan melakukan kepada mereka apa yang mereka lakukan kepadaku.

Apa itu menunggu balasan dari Tuhan? Terlalu lama. Kalau bisa dilakukan sendiri, lakukan saja. Itu prinsipku. Aku tidak ingin menyesal nantinya karena hanya diam saja.

"Aku bukan kanibal," kataku dengan tegas. Setelah semua pengukuran awal selesai, aku menginstruksikan mereka untuk melakukan aktivitas fisik ringan seperti berlari di tempat selama tiga menit, meski Dimas tampak malas-malasan. "Dimas, bisakah kamu tolong serius?"

"Ya," tidak semua anak bisa melakukannya di dalam ruang kelas. Akibatnya, aku memutuskan untuk melakukannya di luar kelas, di koridor. Nala dengan semangat mengikuti instruksi. Aku kemudian mengulangi proses pengukuran denyut nadi dan tekanan darah pada Dimas dan Nala untuk pengukuran fisik, lalu mencatat perbedaan hasil sebelum dan sesudah aktivitas fisik, memperhatikan bagaimana denyut nadi dan tekanan darah meningkat.

Kami kemudian kembali ke ruang kelas dan duduk bersama mereka untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Dengan tenang, aku menjelaskan, "Aktivitas fisik menyebabkan peningkatan denyut nadi dan tekanan darah karena tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen saat beraktivitas. Hal ini menunjukkan bagaimana sistem peredaran darah beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh selama aktivitas fisik." Dwandra mendengarkan penjelasanku dengan seksama, sementara Nala berusaha keras memahami.

Pada akhirnya, aku yang menyelesaikan tugas menulis kesimpulan hasil praktikum menunjukkan respons fisiologis normal tubuh terhadap aktivitas fisik. Meskipun harus bekerja hampir sendirian, aku merasa puas telah menyelesaikan tugas ini dengan baik. Dwandra mengucapkan terima kasih atas penjelasan yang diberikan, dan meskipun Dimas tidak banyak berkontribusi, ia tetap mengapresiasi usahaku. "Praktikum ini tidak hanya memberi kita pemahaman tentang sistem peredaran darah, tetapi juga tentang kerja sama tim dan tanggung jawab," kataku.

Setelah selesai, Dimas dan Dwandra yang mengumpulkan tugas kami. Aku menghela napas berat. "Kadang aku heran, kadang-kadang kamu bertindak lebih berani dari biasanya."

"Apa itu sebuah pujian? Atau sindiran, Nala?" tanyaku.

"Entahlah. Kamu bisa menyimpulkan sendiri. Apakah kamu tahu apa yang kamu lakukan ini dan apa yang akan terjadi selanjutnya? Itu Dimas, Azfa. Kamu bisa berurusan dengannya dan teman-temannya," kata Nala. Tumben sekali anak ini bisa memiliki rasa kecemasan padaku. Biasanya dia enggan bahkan lebih memilih pura-pura tidak memiliki hati.

"Dia masih dalam golongan kelompok spesies manusia. Jadi tenang saja. Tidak perlu khawatir. Itu yang selalu kamu lakukan padaku. Tolong, jangan pura-pura cemas! Itu bukan tindakan yang sering kamu lakukan, Nala," kataku sambil meninggalkan Nala. Saat keluar dari kelas, sekelompok teman Dimas sedang berdiri di pintu kelas kami.

"Azfa, berani sekali kamu menyuruh Dimas. Apakah kamu tidak tahu bahwa dia yang paling kami segani?" kata Anas. Mentalku mulai terbentuk. Untuk apa aku harus takut padanya?

"Maaf, aku terpaksa melakukannya karena ini tugas kelompok. Apakah ketua kalian sedang mengadu kepada anggotanya?" tanyaku.

Lihat selengkapnya