Retak

FAKIHA
Chapter #7

7. Si Pahit Lidah

Udara semakin dingin, kabut semakin tebal. Padahal bulan Juni ini sudah memasuki musim kemarau sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi di daerah sini, semakin memasuki musim kemarau, setiap pagi akan merasakan dingin yang hebat. Aku merasa cardigan tebal yang aku pakai tidak begitu berfungsi menghangatkan tubuh. Aku terus bersin.

Mungkin aku belum menceritakan banyak tentang sekolahku. Sekarang akan aku gambarkan lewat deskripsi. Sekolah dengan desain yang cukup menarik dengan tembok berwarna putih. Tingginya hanya dua lantai. Bangunannya membentuk huruf U. Di lantai satu ada kelas IPS, sementara di lantai dua untuk IPA. Sekitar 30 ruang kelas untuk 3 kelas. Sekolah ini lumayan luas. Di depan setiap kelas ada taman sendiri.

Semua taman di sekolah ini didesain oleh siswa-siswi sekolah kami yang berbakat. Biasanya setiap tiga tahun sekali ada perlombaan membuat taman antarkelas. Tetapi untuk di lantai dua sengaja dibuat aquascape di sepanjang koridor kelas. Itu sangat menakjubkan. Kadang-kadang aku suka duduk di depan koridor kelas untuk menikmati pemandangan dari aquascape. Memang perawatannya agak rumit dibandingkan taman yang ditanam langsung di tanah.

Ekstrakurikuler di sini lumayan lengkap. Di sebelah utara paling ujung sebelah kelas sepuluh E IPS, ada lapangan khusus bela diri yang digunakan untuk karate, taekwondo, dan silat. Sementara di depannya, hanya berjarak lima meter, dibuat lapangan khusus untuk basket dan sepak bola. Lalu di bagian selatan, di belakang kelas 11 IPS, ada lapangan horse club. Posisinya agak jauh karena takut mengganggu siswa yang sedang belajar. Di bagian barat, di belakang kelas 12 IPS, ada ruang laboratorium, perpustakaan, dan ruangan khusus ekstrakurikuler Pramuka serta Palang Merah Remaja (PMR).

Sementara di depan bangunan ekstrakurikuler ada ruang khusus Pramuka dan lapangannya, ruang jurnalistik, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Rohani Islam (ROHIS), Klub Bahasa Inggris (English Club), PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja). Semuanya punya ruang sendiri. Dan di sebelah perpustakaan tentu saja ada dua kantin yang selalu ramai.

Saat aku, Diayu, Viana, dan Nala melalui jalan kantin, sembilan serangkai menatapku dengan tertawa mengejek. Mereka squad-nya bernama, songo somplak. Aku sangat lelah dengan ucapan mereka yang tidak memiliki fungsi apa pun. “Hai Azfa, dengar-dengar Nian mulai suka sama kamu,” kata Xima terkekeh meledek. Anak itu tingginya sekitar 150 senti. Sekalipun wajahnya cantik, kulitnya eksotis dan memiliki postur badan gemuk, tapi akhlaknya sangat nol. Selalu menjadi incaran mendapat hukuman oleh pak Faozi. Aku hanya diam. Mereka sering melakukan hal ini. Bahkan mereka juga mengatai aku yang tidak pantas.

Jujur saja aku sakit hati akan hal itu. Wajahku tidak termasuk dalam kategori jelek. Tapi mereka menjelekkan semua hal karena aku tidak pernah melawan. Mungkin itu kesalahanku. Tetap saja, itu bukan sebiah pembenaran mereka terus mengolok-olokku.

“Cobalah buka hati, siapa tahu jadi jodoh.” Lagi-lagi aku hanya menghela napas berat. Xima seolah menjadi pemimpin di antara squad mereka, paling superior dan paling menjijikkan.

“Tapi itu bagus buat kamu, Azfa. Muka kamu juga pas sama Nian.” Itu kata Eliza yang tidak jadi menyuap bakso yang sudah melayang di depan mulutnya. Mereka sangat kompak dalam hal apa pun, termasuk membullyku. Sudah aku katakan, tiga teman yang berdiri di sebelahku ini tidak akan pernah mencoba untuk membelaku. Bahkan mereka sama tidak warasnya dengan sembilan orang itu.

“Apa kalian tidak lelah mengatakan hal itu berulang-ulang? Aku saja sangat bosan mendengarnya,” ujarku dengan tegas. Mereka semua tertawa, termasuk semua penghuni kantin.

Nala menyahut ujaran mereka. “Ya ampun, Azfa, kenapa kamu tidak bilang, kalau Nian suka sama kamu? Itu benar-benar menarik sih.”

“Apa sekarang kamu bisa diam?” tanyaku menatap tajam Nala.

“Azfa? Jangan marah dong. Lagian kamu tidak perlu gengsi. Dia benar-benar cocok buat kamu.” Itu kata Sila. Anak itu memang selalu menjadi kompor di mana pun dia berada. “Apa sih yang nggak kamu suka dari Nian?” Sekarang aku mulai membenci Nian. Aku sampai merasa jijik ketika menyebut namanya. Apalagi jika bertemu dengan orangnya. Wajahnya juga tidak tampan. Dia sangat standar.

“Kamu pasti pernah mendengar tentang hadis ini, barang siapa yang menjodohkan seseorang, maka dia akan masuk surga.” Aku tertawa sumbang menanggapi ucapan Sila.

“Oh ya? Sayangnya aku tidak pernah dan tidak akan pernah suka sama Nian. Jadi berhenti menjodoh-jodohkan aku dengan orang itu,” kataku berteriak pada mereka. Aku sangat kesal sekali. Aku segera melangkah pergi dari hadapan mereka. Sekalipun perutku sangat lapar. Ini bukan pertama kalinya mereka mengolok-olokku. Mereka sering melakukan hal ini setiap hari. Aku merasa tertekan.

Azakiya malah menghalangi jalanku. “Ini masih istirahat, Azfa. Kita juga perlu menikmati makanan di kantin, bukan?”

“Maaf, aku tidak selera lagi. Tolong minggir!” kataku dengan keras.

“Ya ampun, Azfa, kamu tidak punya sopan santun sekali. Tidak kami duga.” Itu kata Ika. Anak itu tiba-tiba menimbrung. Padahal dia bukan salah satu sahabat 9 serangkai itu. Dia memang benar-benar ular. Mukanya sangat dewasa, tidak cocok dengan usianya yang 17 tahun.

“Azakiya, tolong minggir. Aku mau lewat,” kataku semakin keras.

Lihat selengkapnya