Retak

FAKIHA
Chapter #8

8. Awal Dari Trauma

Sebagian orang mampu menyembunyikan sesuatu yang ada dalam diri mereka sendiri. Mereka membuat sesuatu yang sangat menakjubkan bagi orang yang melihatnya. Tentu saja, itu bukan pelet. Sesuatu itu merupakan personal branding. Sejauh ini mungkin kalian sudah banyak mendengar dua kata itu. Personal branding merupakan sesuatu yang memperkuat citra dari kompetensi diri yang sebenarnya. Dengan personal branding yang baik, baik karakter di dunia nyata maupun di dunia media sosial, akan memberikan manfaat untuk diri sendiri secara langsung maupun tidak langsung.

“Hai, Azfa,” Saqina duduk di sebelahku. Kami sedang berada di koridor kelas. Kami memang tidak begitu dekat. Hanya sesekali mengobrol hal yang penting. Saat pikiran kami mulai penuh dengan materi pelajaran, kadang-kadang aku suka berada di koridor kelas. Suara air gemercik dalam aquascape di depan kami begitu menenangkan pikiran kami. Bagiku hal itu mampu membuat terapi untuk menjernihkan pikiran.

“Hai, Saqina," sapaku balik. Saqina menjadi salah satu anggota dari serangkaian 9 atau Songo Somplak. Tapi dia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh semua orang. Tapi jujur saja, sebenarnya Saqina ini sangat manipulatif. Siapa yang akan berani mencurigai jika Saqina setiap saat dia selalu terlihat selembut sutra? Hal itu berhaisl membuat semua orang yang melihatnya akan jatuh hati atas personal branding yang dibuat.

Saqina tidak selembut itu. Pemikirannya yang cerdas, wajahnya yang sangat cantik, sekaligus karakternya yang sangat baik membuat semua orang menyukainya. Tapi siapa sangka, Saqina lebih perlu diwaspadai daripada yang lainnya.

“Ada apa? Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku lebih dulu. Karena sedari tadi, Saqina hanya diam. Entah apa yang memenuhi pikirannya. Aku menoleh dengan menatapnya.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin duduk di sini.” Saqina menatap kosong ikan-ikan kecil yang berada dalam aquascape.

“Ya, silakan.” Aku tidak memiliki pembahasan apa pun. Aku kembali larut dalam bacaan buku. Namun beberapa detik berikutnya, Saqina memanggilku kembali.

“Azfa,” kata Saqina kembali bersuara. Aku menghela napas lembit. Kemudian, menutup buku yang tadi aku baca, tidak terlalu rapat. Jari-jemariku menjadi pembatas lembaran buku yang aku baca.

“Ada apa, Saqina?” tanyaku mencoba menyembunyikan rasa penasaranku. Aku tidak suka terlalu ingin tahu atau terlibat dalam masalah orang lain. Aku tahu Saqina punya sesuatu yang ingin dia bicarakan. Matanya yang biasanya cerah sekarang tampak sedikit gelap, seakan ada beban di pikirannya.

“Aku baru saja mendengar berita buruk,” katanya pelan dengan nadanya terdengar sedih. “Aran, teman kita dari kelas sebelah, mengalami kecelakaan. Kakinya patah.”

Aku terkejut mendengarnya. Aran memang tidak terlalu dekat denganku, tapi dia selalu ramah dan sopan kepada siapa pun. Aku mengenalnya dengan baik. Kami satu almamater dari sekolah dasar, begitu pun dengan Saqina. “Apa yang terjadi?” tanyaku, mencoba mencari tahu lebih banyak, tapi tidak menunjukkan terlalu ingin mengetahui banyak.

“Katanya dia tertabrak sepeda motor saat pulang sekolah kemarin,” jawab Saqina. “Sekarang dia dirawat di rumah sakit dan butuh banyak biaya untuk pengobatan.”

Aku mengerutkan kening. “Tapi... apakah kita tidak seharusnya diberi tahu oleh guru atau pihak sekolah?”

Saqina mengangguk. “Memang, tapi ini baru terjadi kemarin. Makanya, aku pikir kita harus segera bergerak. Aku dan beberapa teman sudah berencana mengumpulkan sumbangan untuk Aran. Kamu mau ikut berpartisipasi?”

Aku merasa ada yang aneh. Biasanya, hal semacam ini akan langsung diumumkan oleh pihak sekolah. Tapi melihat ekspresi serius Saqina, aku merasa tidak enak untuk menolaknya. “Aku harus menyumbang berapa?"

“Berapa saja yang bisa kamu sumbangkan. Tidak ada paksaan,” kata Saqina sambil tersenyum. Tapi senyum itu terasa ada yang ganjil.

Dengan berat hati, aku membuka dompetku. Hanya ada uang lima puluh ribu yang tersisa. Aku memberikannya kepada Saqina. “Ini semua yang aku punya sekarang.”

Saqina tersenyum lebih lebar. “Terima kasih banyak, Azfa. Kamu sangat baik. Aku akan menyerahkannya ke teman-teman sekarang.” Dia berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk.

Aku kembali duduk dan mencoba melanjutkan bacaanku, tapi pikiran tentang Aran dan sumbangan tadi terus mengganggu. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku segera masuk ke dalam kelas ketika bel berbunyi, aku masuk ke kelas untuk pelajaran berikutnya. Namun, begitu aku duduk, aku sadar tas dan buku-bukuku tidak ada. Aku mencarinya di sekitar meja, tetapi tidak menemukan apa pun.

Ini pertama kalinya tasku hilang. Aku rasa bukan hilang, melainkan ada orang yang sengaja menyembunyikannya. Tapi untuk apa?

Oh... aku lupa, mereka suka melakukan hal-hal yang membuat mentalku acak-acakan. Teman-temanku melihatku dengan tatapan aneh. Beberapa dari mereka menahan tawa. Aku merasa ada yang salah.

“La, apa kamu lihat tas dan bukuku?” tanyaku kepada Nala yang duduk di sebelahku.

Nala hanya mengangkat bahu sambil tersenyum sinis. “Mungkin kamu lupa menaruhnya.”

Aku mencoba untuk tidak panik. Aku merasa mereka benar-benar sengaja melakukan hal ini. Tapi, aku tidak tahu siapa pelakunya. Hanya ada dua kemungkinan, kalau bukan Sila dan Azakiya, bisa jadi squad-nya Dimas. “Azakiya, kamu tahu di mana buku-bukuku?”

Azakiya hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa, tetapi ekspresinya menunjukkan seolah dia tahu lebih dari yang dia katakan. Bu Ria masuk. Hari ini jadwalnya ulangan harian untuk pelajarannya bu Ria.

Pelajaran dimulai tanpa buku-bukuku. Aku merasa cemas dan marah, tetapi mencoba untuk tetap tenang. Tapi saat pelajaran berlangsung, komentar-komentar dari teman-teman sekelas mulai bermunculan. "Viana, boleh aku minta dua lembar kertas kosong untuk ulangan harian?" Viana segera merobek dua lembar kertas kosong dan memberikannya.

"Terima kasih, apa kamu benar-benar tidak melihat tasku?"

"Aku tidak melihatnya, Azfa. Tadi saat istirahat aku berada di kantin," jelasnya. Aku benar-benar cemas berlebihan. Pasti akan ada sesuatu yang terjadi. Entah apa hal itu. Aku tidak tahu. Kami semua segera mengerjakan soal yang sudah ada di depan layar proyektor.

“Azfa, kenapa kamu selalu terlihat pikun?” Sila berteriak dari mejanya. Dia duduk di barisan kedua sebelah jendela, tepat di sebelah Viana. Semua anak tertawa kencang. Aku semakin tidak nyaman. Sepanjang jam pelajaran, Bu Ria tidak terusik sama sekali. Padahal biasanya bu Ria tidak suka ketika jam pelajarannya anak-anak berisik. Bu Ria seperti bersekongkol dengan mereka. Seakan semua hal yang terjadi padaku hanya angin berlalu. Pelajaran berlangsung seperti biasanya.

Aku menoleh dengan kesal. “Aku tidak pikun," kataku dengan cepat.

“Oh, sepertinya buku yang kamu baca terlalu banyak, sampai memori otak kamu ngeblank,” jawab Sila dengan nada mengejek. Mereka tertawa lagi.

“Kamu itu kayaknya tidak tahu caranya berpikir dengan baik. Bukannya membaca buku menjadi pintar, malah jadi bodoh,” kata Azakiya dengan tatapan merendahkan. “Dasar bodoh. Sok-sokan kayak orang pintar."

“Kasihan ya, Azfa. Mungkin dia butuh bantuan agar otaknya menjadi waras,” sambung Saqina sambil tertawa. Aku hanya diam tidak mengatakan apa pun.

Lihat selengkapnya