Retak

FAKIHA
Chapter #9

9. Manusia Parasitisme

"Tanpa disadari oleh beberapa orang, banyak diantara mereka berperilaku menjadi parasitisme dalam lingkungannya." Azfa.

__________

Seharusnya aku menyadari, menjadi orang yang tidak enakan untuk menolak permintaan orang lain hanya menyulitkan diri sendiri. Sekarang aku baru merasakan akibatnya. Aku selalu terperangkap dalam rasa tidak enak hati. Mungkin penyebab aku menjadi orang tidak enakan karena aku terlalu memikirkan sedang memosisikan diri sebagai orang yang kesulitan itu. Alhasil, aku tidak berani mengatakan penolakan kepada siapa pun. Terlebih dari kecil aku selalu mendapat penolakan entah itu permintaan minta sesuatu atau minta tolong. Itu terasa menyakitkan.

“Azfa, aku pinjam uang dua puluh ribu ya! Soalnya uang aku kurang,” katanya. Nala selalu melakukan hal itu. Saking seringnya aku merasa lelah dan bosan. Ini bukan pertama kalinya. Setiap satu pekan dia bisa meminjam sampai tiga atau empat kali padaku. Kadang-kadang dia telat membayar atau marah-marah jika ditagih. Padahal itu semua hak aku. Dunia seketika menjadi terbalik antara si pengutang dan si pemberi utang. Nasibnya akan mengenaskan yang meminjamkan dari orang yang dipinjamkan.

Aku mengeluarkan uangku. “Besok harus diganti," peringatku. Nala hanya mengiyakan. Sebenarnya aku sudah tidak percaya lagi padanya. Apalagi sudah dua pekan terakhir ini sejak kejadian ulang tahun itu, aku semakin merasa yakin untuk mengakhiri pertemanan kami yang terasa toxic Nala selalu bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun. Apa yang diharapkan pada orang yang tidak memiliki hati nurani.

“Besok jangan lupa, uangnya diganti!” kataku lagi.

“Bawel banget sih. Aku pasti ganti, tenang aja.” Nala malah marah-marah tidak jelas.

“Kamu itu sering lupa, jadi harus diingatkan. Lagian kamu kan orang kaya, kenapa malah meminjam uangnya sama aku sih?” tanyaku agak kesal.

“Ya memang kenapa? Kamu kan sahabat aku.” Aku memutar bola mata.

“Apa itu sahabat, Nala? Kamu menganggap sahabat kalau lagi butuh saja. Kalau lagi tidak butuh bantuan juga tidak ingat apa pun.” Aku segera pergi meninggalkan Nala. Aku tidak ingin berdebat lebih panjang lagi. Anak itu masih diam berdiri di tempat tadi tanpa bergerak sedikit pun.

Aku berjanji pada diri sendiri. Ini terakhir kalinya aku meminjamkan uang padanya. Karena ketika aku sedang membutuhkan bantuan, seketika anak itu seperti kehilangan akal sekaligus perasaannya. Kondisinya selalu bertolak belakang. Saat aku sedang butuh bantuan, Nala selalu menolak. Namun sebaliknya, aku harus menjadi garda terdepan ketika dia kesulitan membutuhkan bantuan. Hubungan pertemanan kami itu parasitisme. Hanya Nala yang diuntungkan. Sementara aku sangat dirugikan.

Nala itu tidak tahu caranya berterima kasih. Nala itu tidak tahu caranya balas budi. Nala itu selalu melupakan kebaikan orang lain. Nala itu egois. Dia selalu ingin dibaiki, disayangi, dihargai, dan diperlakukan sebagai princess. Tapi dia sendiri tidak pernah melakukan hal itu. Dia tidak mampu memanusiakan manusia sekitarnya. Keinginannya harus tercapai. Jika tidak, aku yang menjadi sasaran kemarahannya.

Terbiasa hidupnya dimanja, apa pun yang diinginkannya harus terjadi. Nala menjadi tidak tahu arah dirinya harus berlaku seperti apa. Mungkin orang tuanya tidak mengajari karakter dan bertindak yang benar seperti apa. Sekarang dia hidup di rumah sendirian. Ayahnya bekerja di Jakarta. Tapi di samping rumahnya ada budenya, kakak dari almarhum ibunya. Nala menjadi bebas tidak tahu arah. Mungkin itu sebabnya, karakter pribadinya menjadi tidak terarah. Tapi hal itu tidak dibenarkan. Dia menjadi semena-mena kepada semua orang. Apalagi padaku.

Nala juga ringan tangan. Dia seperti alergi didekati laki-laki. Dia bukan penyuka sesama jenis, bukan itu. Dia seperti orang jijik ketika didekati lelaki, kecuali misalnya Dwandra yang mendekati. Itu jelas berbeda. Entahlah, Nala itu rumit. Tapi membuat dirinya menjadi tidak terarah dan sangat cacat tentang karakter pribadinya.

“Azfa,” aku menoleh ketika Alvi sudah berada di belakangku. Dia teman sekelas dari sekolah dasar. Aku tidak terlalu dekat dengan banyak laki-laki sekalipun sudah mengenal lama. Jika dekat pun, bisa dihitung dengan jari. Termasuk Alvi salah satunya yang agak akrab. Anak ini memang terlalu friendly pada siapa pun. Jadi jangan heran jika pertemanannya banyak cabangnya. Namun, kisah percintaannya tidak seberuntung itu.

Alvi juga baru berangkat, tas ransel masih menempel di punggungnya. Dia memakai jaket warna biru tua. Anak ini stylenya selalu nyentrik. Lalu kami berjalan bersejajar ke kelas kami. “Ada apa?” tanyanya. Aku menghela napas sebagai jawaban atas pertanyaannya. Anak itu malah terkekeh.

“Ternyata benar dugaan orang-orang, hidup orang pendiam lebih berat daripada buku-buku yang sering kamu baca.” Sindirannya lumayan. Lumayan menyadarkanku. Bahwa hidupku yang aku jalani benar-benar lebih berat dari buku yang sering aku baca sekalipun lebih dari empat ratus lembar.

“Ya itulah hidup.” Kami saling tertawa.

“Kayaknya kamu harus banyak-banyak mengobrol sama yang lainnya. Biar tidak dibully terus.” Saran Alvi memang sangat baik. Tapi aku belum siap untuk memulai semuanya. Melakukan pendekatan dengan para pembully yang sudah merusak mentalku sangat sulit bagiku untuk melakukan sarannya.

“Terima kasih atas sarannya. Mungkin lain waktu akan aku coba. Tapi, aku tidak yakin untuk melakukannya dengan secepat itu. Aku bukan kamu."

“Ya aku mengerti, Fa. Sesuatu yang tidak kita mau memang tidak mudah kita lakukan. Semangat, semuanya pasti akan baik-baik saja! Sejauh yang aku lihat, kamu sudah lumayan berubah, walaupun tidak begitu banyak.” Alvi memang sangat baik. Tapi kadang-kadang dia suka memanfaatkan aku dalam misinya. Dia juga tidak beda jauh dengan Nala yang selalu meminjam uang. Menurutku, Alvi lebih baik dari Nala. Ya, sekalipun sering memanfaatkan kebaikan orang lain.

Jadi, sebenarnya aku ini jadi peminjaman uang berjalan atau bagaimana? Menyebalkan sekali.

“Terima kasih. Apa kamu sudah dekat dengan Esma?” tanyaku. Anak itu menggeleng lemah. Alvi pernah mengatakan jika dia sedang menyukai Esma. Ya, hidup di zaman sekarang memang sulit. Orang-orang mulai menormalisasi pacaran, padahal hal itu dilarang keras oleh agama kami, agama Islam. Aku juga tidak punya kata-kata bijak lagi jika untuk menasihati. Mereka semua jadi bebal. Tidak mampu berpikir. Sekalipun mereka tahu itu salah, tetap saja mereka terjang. Katanya, manusia itu tempatnya khilaf.

Lihat selengkapnya