"Membalikan perlakukan atas sesuatu yang mereka kerjakan sangatlah menarik," Azfa.
_______
Sekolah SMA 2 Bojong ini berdiri megah di atas perbukitan sejak puluhan tahun lalu. Setiap tahunnya, selalu ada pembaruan fasilitas. Meskipun berlatar di pedesaan, sekolah ini menawarkan suasana yang sejuk dan menenangkan. Meski terletak di ketinggian, akses ke sekolah ini sangat mudah karena dekat dengan jalan raya utama. Dari belakang sekolah, terbentang pemandangan hutan yang hijau dengan pepohonan yang tampak kebiruan di kejauhan, seolah menjadi latar alami yang mempesona. Di lobi kelas, suara gemericik air dari aquaspace menambah ketenangan suasana, memberikan efek yang membuat para siswa dan staf merasa nyaman dan damai sepanjang hari.
Sejujurnya, aku selalu merasa kesal setiap kali ada pembagian tugas kelompok di mana siswa boleh memilih kelompoknya sendiri. Akibatnya, aku sering tidak mendapatkan kelompok. Ini bukan kali pertama aku mengalami hal ini sejak masuk kelas sebelas. Viana dan Diayu juga membentuk kelompok mereka sendiri. Diayu bergabung dengan Saqina, Zakiya, Sila, dan Maulida, sementara Viana bergabung dengan kelompok Esma, Ahda Inda, Mitt, dan Inna.
Mereka semua sudah mendapatkan kelompoknya masing-masing. Meja mereka pun sudah disatukan sesuai kelompok. Nala menghampiriku. Dia duduk dengan wajah masamnya. "Azfa, aku heran, kenapa sih kita tidak pernah dapat kelompok?"
"Mungkin karena aku tidak kaya dan terlihat menjijikkan," kataku dengan datar sambil membuka halaman buku paket yang sudah diberikan oleh Bu Tita.
"Tapi, aku kaya dan cantik, Azfa," kata Nala begitu percaya diri.
"Benar, tapi kamu tidak cukup pintar," jelasku membuat Nala menyatukan alisnya.
"Menyebalkan sekali. Bisa tidak, kamu kalau bicara jangan terlalu jujur?" Aku hanya mengedikkan bahu saat Nala bertanya demikian. "Kamu kenapa, Azfa?" tanyanya lagi.
"Aku tidak apa-apa."
"Apa kamu sakit?"
"Tidak, aku tidak apa-apa," kataku. Nala segera menyalin soal yang terpampang di depan proyektor. Aku benar-benar tidak memiliki selera untuk berada di sekolah.
Rasanya lelah sekali. Aku segera mencari jawaban di buku paket untuk setiap soal yang sudah Nala salin dalam buku tugasku. Presentasi akan dilakukan satu jam lagi. Aku berharap bukan kelompok kami yang maju lebih dulu. Aku termasuk dalam kelompok orang yang merasa bahwa segala sesuatu harus direncanakan sematang mungkin. Jika tidak, otakku bisa mendadak blank.
Aku berhasil menyelesaikan enam soal dalam waktu tiga puluh menit. Aku mencari jawabannya terlebih dahulu, lalu meletakkan kertas pembatas di setiap lembar jawaban di buku paket sebelum menyalinnya ke buku tugas. Dengan cara ini, aku bisa menyelesaikan tugas lebih cepat.
Ya ampun, menyebalkan sekali. Hidungku agak perih. Rasanya cairan di dalam hidung akan keluar semua. Aku harus cepat-cepat ke kamar mandi. Jika aku terpapar udara dingin sekaligus sering menunduk, sinusitisku kambuh lagi. Aku segera menghentikan tanganku yang sedang menulis. Setelah itu, aku mengambil tisu dari dalam ransel.
"Nala, tolong kerjakan sisanya. Aku mau ke kamar mandi dulu," kataku cepat.
"Mau aku antar?" tawarnya dengan sangat baik.
"Tidak perlu, terima kasih. Kerjakan tugas yang tersisa saja! Permisi." Aku tidak menunggu Nala mengiyakan, dalam beberapa detik aku sudah berlari keluar kelas menuju kamar mandi.
Kamar mandi ada di setiap lantai, jadi kami tidak perlu naik turun tangga. Cuaca hari ini sangat buruk, kabut benar-benar menyelimuti langit dan pepohonan di belakang sekolah. Jalan raya juga tidak begitu nampak. Ketika musim kemarau tiba, cuaca di sini akan sering berkabut.
Sesampainya di kamar mandi, aku segera membersihkan hidung dengan tisu. Setelah merasa lebih baik, aku segera kembali ke kelas. Namun, sialnya, Ika dan Xima ada di depan kamar mandi.
"Hai, Azfa! Apa kabar?" tanya Xima dengan basa-basi. Aku bersikap waspada. Mereka ini seperti bencana yang tidak tahu kapan datangnya.
"Baik," jawabku singkat. Rasanya sangat malas meladeni ucapan basa-basi dua manusia keparat di depanku ini. Baru saja kakiku melangkah, rambutku yang tertutup hijab ditarik oleh Ika.
"Lepas!" kataku dengan tegas. Dua manusia keparat ini hanya tersenyum seperti kerasukan setan. Ika semakin mengeratkan tarikan rambutku hingga kepalaku terasa sakit. Percuma mengatakan sesuatu pada manusia yang hati nuraninya entah ada di mana. Aku segera menendang tulang kering kaki Ika. Barulah dia meringis kesakitan dan melepas rambutku yang tertutup hijab. Puluhan helai rambut rontok.
"Kalian ada masalah apa sih? Kenapa suka sekali mengganggu orang? Apa aku pernah melakukan kesalahan sama kalian?" tanyaku membabi buta. Mereka berdua agak terkejut.