"Kadang-kadang untuk mengetahui sesuatu, kita perlu mengikuti alur itu, meskipun kita tidak ingin hal itu," Azfa.
__________
Aku merasa seperti sedang menonton potongan adegan film yang berputar secara acak. Satu per satu momen muncul dengan sendirinya. Terlalu ajaib rasanya untuk dianggap nyata. Tapi aku seperti pernah melalui hal ini sebelumnya. Seperti mimpi di dalam mimpi, atau sebenarnya hal ini nyata sedang aku lalui? Entahlah. Kurang dari sepuluh potongan adegan berputar dan aku mampu merasakan semuanya, masing-masing dengan keadaan yang berbeda. Aku tidak mengerti mengapa semua ini bisa berubah hanya dalam hitungan menit.
Potongan pertama, aku seolah dibawa kembali ke tahun ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Rasanya seperti déjà vu. Saat itu, Aliza menarik saku seragamku hingga sobek—bukan sekali, tetapi sampai empat kali.
Beberapa menit kemudian, aku berada dalam situasi lain yang pernah kualami sebelumnya, yaitu ketika aku tidak memakai hijab. Aku yakin, saat itu aku sedang berada di kelas tiga sekolah dasar. Anak-anak seangkatan mencaci dan menghinaku karena aku tidak memakai hijab saat pelajaran agama. Masalahnya, hari itu ada praktik salat, dan aku lupa tidak membawa hijab. Biasanya, semua anak perempuan di angkatan kami juga tidak memakai hijab pada hari-hari biasa, kecuali saat pelajaran agama.
"Azfa, kenapa kamu tidak memakai hijab? Bukannya hari ini ada praktik salat? Bagaimana kamu bisa melakukan salat tanpa hijab? Hijab itu wajib bagi seorang muslimah, tahu," tanya Sila sambil mencari-cari kesalahanku. Padahal, pada hari-hari biasa dia juga tidak pernah mengenakan hijab. Sebenarnya, apa yang dikatakan Sila memang benar, tapi entah kenapa aku merasa sangat tersinggung.
"Aku lupa," jawabku pelan.
"Ya ampun, seharusnya kamu ingat kalau setiap pelajarannya Bu Maryam harus memakai hijab. Kamu itu Islam. Masa tidak memakai hijab sih? Nanti kamu bakal dimarahi Bu Maryam habis-habisan."
"Aku benar-benar lupa, Sila," kataku lagi. Ini bukan alasan yang klise. Lalu mereka meninggalkanku setelah mengolok-olok. Bukan satu orang saja, tetapi satu kelas menghinaku dengan kata-kata kasar. Aku tidak perlu menjelaskannya karena itu sangat menyakitkan. Bukan hanya kata-kata binatang yang mereka lontarkan untuk mencaciku, tetapi juga banyak kata-kata yang tidak seharusnya mereka katakan. Apa yang kulakukan? Tentu saja, aku hanya diam tanpa melawan, karena aku tahu aku salah dalam hal ini. Tapi, bisakah mereka menoleransi tindakanku? Tidak, mereka justru mencaciku habis-habisan hari ini.
Aku tidak mungkin menjelaskan dengan jujur bahwa ayah dan ibuku adalah penyebab aku berada dalam permasalahan ini. Kedua orang tuaku selalu melarangku memakai hijab dengan alasan bahwa aku masih terlalu kecil. Padahal, pada usia sembilan tahun, seorang anak perempuan sudah masuk usia baligh, di mana ia sudah diwajibkan menutup aurat. Di mana-mana, orang tua menginginkan anaknya menjadi pribadi yang baik dan menutup auratnya, terutama bagi yang beragama Islam, khususnya seorang muslimah yang sudah memasuki usia baligh.
Sejak saat itu, aku menjadi bulan-bulanan seangkatan sebagai objek perundungan karena tidak memakai hijab. Andaikan orang tuaku memperbolehkanku memakai hijab dan membelikannya saat itu, mungkin aku tidak akan mengalami cemoohan satu kelas. Pengalaman ini adalah yang terburuk yang pernah aku alami hingga beberapa tahun ke depan, bahkan sampai kelas enam.
Setiap kali aku masuk kelas, mereka semua memanggilku "anak tidak benar" dan "anak nakal" hanya karena aku tidak memakai hijab. Banyak kata-kata tidak pantas yang mereka ucapkan. Semua hinaan itu sebenarnya berasal dari larangan orang tuaku sendiri. Aku menyimpan alasan sebenarnya dengan baik, tanpa mengatakan mengapa aku tidak memakai hijab. Aku hanya tidak ingin mereka menganggap orang tuaku buruk atau tidak berlandaskan agama. Demi menutupi kesalahan orang tuaku yang melarangku memakai hijab, aku rela diolok-olok setiap hari hingga lulus SD.
Dengan terpaksa, menjelang masuk kelas empat, aku memaksa ibu untuk membelikanku hijab. Ibu akhirnya membelikannya, tapi hanya dua buah, hijab putih dan coklat. Aku tidak mengatakan kepada ibu bahwa aku diolok-olok satu kelas setiap hari. Hijab putih itu kupakai selama empat hari berturut-turut dalam seminggu, sementara hijab coklat kugunakan setiap Jumat dan Sabtu.
Meski begitu, mereka tetap mengungkit-ungkit masalahku yang tidak memakai hijab saat pelajaran agama. Bukan hanya aku yang tidak memakai hijab di kelas tiga saat pelajaran agama, Yana juga melakukan hal yang sama. Tapi mereka tidak mengolok-olok Yana. Mungkin karena gaya Yana yang terlihat seperti orang kaya dan cantik. Padahal sebenarnya Yana tidak berasal dari keluarga kaya. Dia sama sepertiku, tidak memakai hijab, tetapi keberuntungan berpihak padanya. Dia tidak pernah dirundung, meski melakukan hal yang sama.
Potongan kedua, aku memakai hijab coklat pada hari Sabtu. Hari itu ada pelajaran olahraga. Semua orang gembira dengan pelajaran ini, kecuali aku. Aku sangat membenci apa pun yang berhubungan dengan olahraga. Ini adalah kelemahanku yang menjadi bahan olok-olokan selama beberapa bulan. Masalahnya sangat sederhana—hanya karena aku tidak bisa melakukan roll depan dan roll belakang, mereka mengolok-olokku dengan kompak.
Pak Irfan, guru olahraga kami, hanya menonton dan membiarkan semua itu terjadi. Aku benci segala bentuk perundungan, tapi aku hanya bisa menahan diri agar tidak menangis di depan semua orang. Syukurlah, hal itu berlalu dengan cepat.
Potongan ketiga dimulai ketika aku selalu ditolak saat pembagian tugas kelompok. Aku tidak tahu mengapa semua ini terasa begitu akrab, seolah aku pernah mengalaminya sebelumnya. Di ruang kelas, anak-anak sibuk dengan tugas kelompok mereka, sementara aku harus mengerjakannya sendiri. Tidak ada yang peduli. Apakah menjadi orang miskin berarti harus menanggung penderitaan seperti ini? Apakah perlu dikucilkan? Apakah aku begitu menjijikkan di mata mereka?
Zakiya, Aliza, Xima, dan Sila menolakku mentah-mentah. Mereka bilang aku hanya akan merepotkan dan tidak bisa diandalkan. Memang benar, aku bukan anak manja seperti mereka yang selalu meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas kelompok. Mereka lebih suka meminta bantuan kakak kelas atau orang tua mereka daripada mengerjakan tugas sendiri.
Mereka bilang aku akan menambah beban, tetapi kenyataannya, merekalah yang sebenarnya membebani orang lain. Sepertinya orang mandiri seperti aku memang tidak cocok untuk menjadi bagian dari kelompok mereka. Selain tidak suka merepotkan orang lain, aku juga tidak suka dengan gaya hidup mereka yang terlalu berlebihan.
Potongan berikutnya berlalu dengan cepat. Aku duduk di depan meja Ika saat jam pelajaran berlangsung. Semua anak fokus, tapi tidak dengan Ika. Beberapa kali, dia menarik helaian rambutku yang tertutup hijab sampai aku merasa kesakitan karena beberapa helai rambut putus dari kepalaku. Awalnya, aku diam, tetapi lama-kelamaan tingkah Ika semakin menjadi. Dia terus menarik rambutku hingga kepalaku terasa pusing.
"Ika, tolong berhenti mencabut rambutku. Kepalaku sakit, tahu."
"Masa sih? Rambut kamu saja tidak kena di tanganku."
Aku menatapnya tajam. Berbicara sopan dengan anak yang tidak tahu diri seperti ini memang membuang waktu. "Jangan mencari-cari alasan. Apa yang ada di tanganmu kalau bukan rambutku? Benang jahit?" Dengan cepat, Ika membuang rambutku di bawah meja. Jam pelajaran selesai, dan Bu Diya keluar dari kelas. Aku segera menghampiri meja Ika dan menarik rambutnya.
"Azfa, kamu apa-apaan sih? Sakit tahu," katanya meringis kesakitan. Aku tidak peduli.
"Itu juga yang aku rasakan setiap hari. Kamu mencabut puluhan helai rambutku, memangnya tidak sakit? Kepalaku sampai pusing." Aku melepas rambutnya. Orang-orang memandangku dengan tatapan aneh, tapi aku tidak peduli dengan mereka.
Segalanya berubah lagi. Aku meminta untuk bergabung dengan kelompok Sila saat SMP. Saat itu adalah pembagian kelompok untuk studi tour ke Jogja. Seharusnya aku curiga ketika mereka tiba-tiba menerimaku.
"Boleh aku gabung dengan kelompok kalian?" tanyaku setelah mempertimbangkan semuanya. Aku dengar Hima tidak ikut studi tour karena dia selalu mabuk saat perjalanan ke mana pun, maka dari itu aku memutuskan untuk bergabung dengan kelompok mereka. Aku terlalu cepat memutuskan, hingga tidak menyadari bahwa mereka sedang mempermainkanku. Awalnya, aku, Nala, dan Devi sepakat untuk berkelompok, tetapi tiba-tiba mereka membatalkan semua itu.
"Boleh, Azfa. Kebetulan kami kurang satu orang," kata Sila, menerimaku. Aku sangat senang karena untuk pertama kalinya mereka menerimaku sebagai anggota kelompok mereka. Tapi lima belas menit kemudian, setelah jam istirahat selesai, mereka segera mengeluarkanku dari kelompok mereka. Katanya, kelompok mereka sudah lengkap dengan sembilan orang.