Retak

FAKIHA
Chapter #12

12. Keturunan Darah Pembully

Jantungku berdetak cepat. Aku terbangun dari tidur. Semua yang terjadi selama ini hanyalah mimpi. Mimpi yang datang berulang kali, membuatku menangis dan membenci diri sendiri. Aku tidak bisa mengubah waktu ataupun momen yang menyakitkan. Setiap malam, mimpi-mimpi itu datang dengan sesuatu yang berbeda, tetapi tetap sama menyakitkannya. Aku duduk terdiam.

Selama satu bulan ini, aku merasa seperti orang gila. Bagaimana tidak, setiap malam tidurku tidak nyenyak, dan aku bangun dengan keadaan menangis, kecewa, dan membenci diri sendiri. Aku selalu bermimpi berada di sekolah, terus-menerus di-bully oleh orang-orang yang merundungku. Mereka juga sering mengucilkanku. Mimpi itu kadang-kadang berubah, tetapi selalu kembali hampir setiap malam. Kadang-kadang aku merasa kembali ke masa lalu, saat aku masih di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atau bahkan di sekolah menengah atas. Semuanya acak. Sebenarnya, perundungan selama satu tahun terakhir ini tidak ada apa-apanya dibandingkan saat aku masih SMP. Dan pelakunya masih sama dengan sekarang: Nala, Ika, Xima, Sila, Aliza, dan Azakiya.

Saat di sekolah dasar, Aliza tidak lebih baik dari sekarang. Dulu, anak itu sering mengataiku dengan hal-hal yang tidak pantas, seragam sekolahku juga sering robek karena ditarik-tarik olehnya. Ketika aku tegur, dia hanya mengatakan, "Aku tidak sengaja, Azfa." Padahal sangat jelas jika Aliza melakukannya berulang kali dengan sengaja. Aku baru ingat sesuatu. Akan kuceritakan sedikit tentang mereka dan keluarga mereka yang lahir dari keluarga perundung. Ada yang mengatakan, darah yang mengalir dalam pewarisan genetik tidak akan jauh dari pewaris genetik atasnya.

Aliza berasal dari keluarga kaya. Orang tuanya pedagang yang memiliki banyak cabang sejak Aliza kecil. Orang-orang sekitar menghargai dan menghormati keluarganya. Namun, desas-desus tentang kekayaan keluarga Aliza menyebutkan bahwa mereka tidak mendapatkannya dengan cara yang benar, tetapi dengan menumbalkan keluarga kandungnya. Orang-orang mengatakan, korban awal dari kekayaan itu adalah ayah dari ibu Aliza. Setelah beliau meninggal, beberapa puluh tahun kemudian ibu dari ibu Aliza mengalami stroke ringan. Lalu, saat Aliza masuk SMA, dia sering kerasukan jin dan keluar-masuk rumah sakit. Baru dua pekan ini dia keluar dari rumah sakit karena operasi payudara. Entahlah, gosip itu benar adanya atau tidak. Mungkin karena uang yang tidak halal menjadikan Aliza seperti itu.

Saudara dari sepupuku pernah bercerita, saat itu usianya sepuluh tahun. Ketika itu dia ingin buang hajat, dan karena mereka belum memiliki toilet, mereka selalu pergi ke sungai. Jarak dari rumahnya Didi ke sungai sekitar tiga ratus meter, dan mereka harus melewati rumah Aliza.

"Mama, sampai sini saja, tidak perlu mengantar sampai sungai. Itu ada Bu Lik Caman dan Nur, aku bisa ke sana bersama mereka. Mama pulang saja!" katanya dengan yakin. Ibunya sangat meragukan, pasalnya Didi adalah anak laki-laki yang penakut, jadi ibunya tidak bisa percaya begitu saja.

"Apa kamu yakin? Ini tengah malam, loh, jam satu. Kamu serius ada Bu Lik Caman?"

"Aku serius, aku harus kejar mereka sebelum jauh."

"Baiklah, kalau begitu ibu pergi. Kamu harus hati-hati!" Begitu ibunya pulang, Didi mengejar bu liknya atau adik dari ibunya yang berjalan dengan tenang menuntun putrinya.

"Bu Lik, tungguin aku dong!" kata Didi sambil berteriak. Didi berlari mengejar mereka. Setelah bertemu dengan mereka, dua orang ini diam saja seolah tidak mengenal Didi. Dia menatap kesal adik ibunya ini.

"Aku dari tadi panggil kalian, kenapa kalian jalan saja? Kalian mau ke sungai, bukan? Aku ikut, ya!" tanya Didi penasaran. Mereka masih saja diam. "Baiklah, diam tandanya mau," kata Didi berjalan di samping mereka. Dalam beberapa menit berikutnya, Didi mulai menyadari ada yang aneh pada saudaranya itu. Bulu kuduk Didi berdiri seolah memberikan respons bahwa ada yang salah, tapi Didi menganggap udara semakin dingin.

Selanjutnya, Didi melihat ke samping, ke arah orang yang diyakininya sebagai saudaranya. Pelan tapi pasti, tubuh Didi membeku. Itu adalah respons paling serius yang diterima oleh anak laki-laki sok berani dalam beberapa menit yang lalu. Wajah dua orang itu berubah menjadi sosok yang paling menakutkan yang pernah Didi lihat. Bu Lik Caman pelan-pelan wajahnya berubah menjadi Buto Ijo, bibirnya tebal sampai menjulur ke perut, dan orang yang diyakini sebagai Nur, sepupunya Didi, berubah menjadi kera yang dituntun oleh hantu itu. Saat itu juga Didi tidak sadarkan diri.

Keesokan harinya, Didi dibawa oleh salah satu warga ke rumahnya. Setelah Didi sadar, anak laki-laki itu masih syok atas apa yang dilihatnya semalam. Setelah tenang, Didi mulai menceritakan apa yang dilihatnya. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa itu adalah jelmaan jin penglaris usaha keluarganya Aliza yang tinggal di sana.

Kita beralih ke keluarganya Sila. Mereka adalah musuh terbesar di desa kami. Alasannya karena anak-anak mereka menjadi pelaku perundungan. Darah yang mengalir di tubuh mereka adalah "bully blood" atau bisa kita kenal sebagai darah perundung. Mereka sering memanggilku dengan sebutan: anak culun, si dalaman panjang, kelapa tanjakan, bidadari bintang lima, kerbau betina, dan masih banyak lagi hinaan yang mereka luapkan padaku.

Aku masih mengingat sepenuhnya cerita mulut ke mulut yang bisa dipegang sebagai bukti nyata para orang tua yang anaknya menjadi korban perundungan.

Sila bukan satu-satunya orang yang menjadi perundung; kakaknya yang pertama lebih dulu mencicipi kejahatan itu. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada undang-undang yang menjatuhkan pelaku seperti ini ke penjara. Shofi, dia perempuan, sering melakukan kekerasan fisik dan verbal pada teman sekolahnya. Dia merupakan ibunya Dani—orang yang sampai sekarang merundungku. Sudah jelas, setiap angkatan sekolah, anak-anak orang tuanya Sila sangat membuat orang waspada.

Lihat selengkapnya