"Apa yang membuat Anda merasa kelelahan?" Mungkin hal itu menjadi salah satu pertanyaan menarik jika ada orang yang menanyakan tentang keadaanku saat ini.
Bagiku, membenci pikiran sendiri adalah hal yang paling melelahkan. Bagaimana tidak, aku harus berkelahi dengan semua ingatan buruk yang pernah terjadi selama bertahun-tahun. Pikiran buruk itu terlalu setia menetap di memori otakku, hingga menjadi trauma besar bagiku. Aku sangat membenci semua hal yang berkaitan dengan perundungan. Setiap kali ada berita tentang perundungan, tiba-tiba aku menjadi sangat emosional. Aku bertindak berlebihan, seperti merasa mual, pusing, dan semua ingatan buruk itu tiba-tiba melintas tanpa izinku. Kemudian, aku menangis histeris, dan hatiku terasa sakit setiap kali melihat berita perundungan yang beredar.
Sewaktu aku masih duduk di bangku SMP, aku selalu terasingkan oleh semua orang. Aku menjadi lebih pendiam dan hanya bisa mendengar orang-orang berbicara. Hal itu sangat berpengaruh pada bicaraku yang kadang-kadang tersendat karena kehilangan banyak kosakata. Kadang, aku perlu waktu yang tidak sebentar untuk memulai pembicaraan karena aku merasa canggung berlebihan sekaligus merasa takut. Aku bukan pembicara yang baik karena aku pembicara yang pasif.
Jika jam istirahat tiba, mereka semua keluar dari kelas tanpa mengajakku. Terkadang, aku juga pergi ke kantin sendirian atau memilih kembali ke dalam kelas sendirian. Sementara yang lainnya berkumpul sesuai dengan kelompok pertemanan masing-masing. Aku juga selalu menjadi orang terakhir yang tahu tentang sesuatu karena tidak begitu dekat dengan siapa pun.
Setiap kali sekolah mengadakan acara, aku selalu tidak ikut serta dalam hal itu. Entahlah, apakah penampilanku kurang menarik atau karena aku kurang bersosialisasi. Ada satu momen yang cukup kelam yang masih tersimpan rapi dalam ingatan memori otakku. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP, tepatnya berada di madrasah, tempat sekolah yang khusus belajar agama Islam di kampungku.
Tepat pada kelas empat madrasah, sekolah kami mengadakan acara akhir tahun menjelang bulan puasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, setiap angkatan memberikan penampilan untuk mewakili acara tahunan tersebut. Kebetulan, angkatanku mengadakan acara rebana. Kami meminjam alat rebana yang ukurannya kecil-kecil di sekolah SMP, sayangnya jumlahnya hanya sembilan saja. Sementara Aliza dan Sila, yang masuk ke dalam angkatan kami, ikut serta dalam acara rebana itu. Lalu mereka memutuskan agar aku tidak perlu ikut serta dalam acara itu. Nantinya, Xima, Ika, dan Putri yang akan menjadi vokalis qosidah tersebut.
"Azfa, kami memutuskan kamu tidak bisa ikut acara ini karena rebananya tidak ada lagi. Sementara untuk vokalis sudah pas, yaitu Xima, Ika, dan Putri," jelas Sinta. Aku sangat kecewa setelah mendengar keputusan tersebut. Mereka lebih memilih Sila dan Aliza yang notabene adalah adik kelas kami. Seharusnya hal itu merupakan acara spesial karena acara perpisahan kami.
"Tapi ini acara perpisahan kita. Kenapa kalian lebih memilih Aliza dan Sila untuk acara ini, sementara mereka berdua baru kelas tiga?"
"Karena teman-teman mereka di kelas tiga sudah punya acara menampilkan pertunjukan sendiri. Jadi kami perlu Aliza dan Sila dalam acara ini," jelas Fitri.
"Jadi kalian lebih memilih mengeluarkan teman angkatan kalian sendiri demi orang lain untuk acara perpisahan kita? Lalu untuk apa blazer yang sudah dibuat kalau akhirnya tidak dipakai untuk acara perpisahan itu?"
"Azfa, kami minta maaf soal itu. Blazer itu untuk kenangan angkatan kita, bukan hanya untuk performa akhir tahun," Lulu angkat bicara karena tidak enak hati.
"Seharusnya kalian bilang hal ini beberapa bulan yang lalu, jadi aku tidak perlu membeli blazer perpisahan itu." Aku benar-benar kesal pada mereka. Aku sangat kecewa dengan keputusan yang dibuat tanpa diskusi lebih dulu. Oh, ralat, aku tidak ikut serta dalam diskusi tersebut. Mereka memutuskan hal itu setelah melakukan diskusi entah kapan waktunya, dan setelah itu mereka memutuskan keinginan mereka tanpa bernegosiasi lebih dulu.
"Apa kalian tahu? Sekarang aku merasa berdosa karena sudah memaksa orang tuaku agar mengizinkanku untuk membeli blazer itu, padahal keuangan orang tuaku tidak cukup. Walaupun aku membayar dengan uangku sendiri tanpa bantuan uang orang tuaku, tetap saja, aku merasa rugi dan berdosa karena memaksa sesuatu pada orang tuaku."
"Jadi kamu menyalahkan kami, Azfa?" tanya Aliza tidak terima.
"Tidak, aku tidak menyalahkan kalian. Aku hanya kecewa dengan keputusan kalian," kataku dengan jujur. Setelah aku mengatakan itu, mereka pergi begitu saja. Apa yang aku harapkan dari mereka? Belas kasih? Tentu saja, itu sangat menyakitkan jika hal itu terjadi. Diterima karena dikasihani lebih menyakitkan daripada diasingkan.
Beberapa hari kemudian, mereka semua berlatih dengan cukup serius. Lalu orang tuanya Sila bertanya saat aku di rumah, "Azfa, kenapa kamu tidak ikut acara rebana? Sila, Aliza, Xima, sama Azakiya saja ikut."
"Tidak, Wak. Aku tidak ikut serta karena mereka tidak membutuhkanku. Mereka lebih membutuhkan Sila dan Aliza agar aku tidak ikut serta," jelasku dengan sabar. Tidak mungkin aku mengatakan kepada ibunya Sila dengan jujur, "Aku tidak ikut serta karena anak Wak. Gara-gara anak Wak, aku malah didepak dari acara angkatanku sendiri."
Lalu ibunya Sila mengatakan banyak hal seperti memanasiku dengan tujuan agar telingaku semakin memanas karena perkataannya yang terlalu merendahkanku. Ibunya Sila mengatakan, "Kamu itu terlalu pendiam dan kurang pergaulan, jadi siapa pun akan kurang suka dengan karaktermu itu. Siapa yang mau berteman dengan kamu? Kamu itu sangat sombong padahal kamu tidak punya apa-apa." Setelah ibunya Sila mengatakan hal itu, aku segera pergi.
Kenapa orang-orang menilai jika orang pendiam itu identik dengan sombong? Aku menjadi pendiam juga karena ulah anaknya dan teman-teman anaknya. Ibunya Sila juga sering merendahkanku dengan kata-kata yang kasar dan merendahkan, seperti menyebutku anak miskin atau hal lainnya. Peribahasa "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" memang benar adanya. Sila dan ibunya merupakan salah satu contoh kecil dari peribahasa tersebut.
Namun ketika H-10, mereka berbelok dari keputusan awal mereka agar aku ikut serta dalam acara itu. Seharusnya aku tidak menerimanya. Seharusnya aku menolaknya dengan tegas supaya mereka tidak seenaknya. Aku terlalu berpikir positif saat itu. Aku pikir mereka melakukan hal itu karena tulus. Aku terlalu lugu untuk dibodohi mereka.
"Azfa, kamu ikut acara rebana, ya? Kamu ikut sebagai vokalis bersama Ika, Putri, dan Xima," kata Fitri. Entah kenapa, responku malah bahagia. Padahal jelas-jelas aku sudah dikecewakan beberapa kali oleh mereka. Tetapi aku malah senang mendengar keputusan tersebut.
"Baiklah, aku ikut."