Retak

FAKIHA
Chapter #14

14. Cokelat Hitam

Sampai hari ini, menurutku, pelajaran BK masuk dalam daftar pelajaran paling mengantuk yang pernah ada. Entah mengapa, selama ini kami selalu mendapat guru BK yang tidak sesuai bidangnya. Pak Tulus, lulusan sarjana agama, harus merangkap menjadi pengajar mata pelajaran BK. Pak Tulus orangnya terlalu santai, sampai-sampai materi BK tidak masuk ke otak setiap siswa. Padahal, materi BK sangat diperlukan untuk pengembangan diri, pendidikan, dan karir siswa.

Lihat saja wajah pak Tulus—wajahnya memang seram, tapi percayalah, sebenarnya beliau tidak seseram itu. Beliau lebih banyak bercanda. Hanya saja, minusnya, materi yang diajarkannya kurang masuk di otak hampir semua siswa SMA 2.

"Nala, apa benar kamu suka dengan Dwandra?" tanya pak Tulus dengan cukup serius. Beliau sedang sibuk menyalin nilai ulangan harian BK dengan puluhan lembar kertas dan bolpoinnya. Pekan kemarin kami telah melakukan ulangan harian BK, dan rasanya memuakkan. Aku hanya paham beberapa saja.

"Apaan sih, Pak. Siapa yang bilang begitu?" tanya Nala dengan suara mendayu, pura-pura mengelak. Nala selalu berbicara terlalu lambat, seperti ada nada yang fals mendayu. Kalian bisa bayangkan sendiri visualnya. Anak itu selalu ringan tangan, kurang sopan, jutek, dan otaknya tidak sebaik wajahnya.

"Masa sih? Kata anak-anak, kamu suka banget sama Dwandra, bahkan sejak kelas sepuluh," kata pak Tulus menggoda. Aku tidak peduli dengan hal itu.

"Bohong itu, Pak. Yang suka sama Dwandra itu Sakina." Itulah kebiasaan Nala—melempar sesuatu mengenai dirinya kepada orang lain. Dia juga melakukan hal serupa padaku. Sewaktu semester awal kelas sepuluh, Nala dijodoh-jodohkan oleh teman-temannya seamgakatan kami dengan Nian, lalu dengan mudahnya Nala melempar perjodohan itu padaku. Akibatnya, sampai saat ini orang-orang kompak menjodohkanku dan terus menggoda tanpa henti. Anak ini memang sangat berbahaya. Sementara Sakina tidak mengiyakan maupun menolaknya.

"Dwandra memang banyak yang suka, ya? Dulu Bapak juga seperti itu," kata Pak Tulus menjeda ucapannya. Aku menatapnya agak ragu.

"Sepertinya meragukan ya, Pak?" kata Sakina yang sangat akrab dengan pak Tulus.

"Ya, memang meragukan. Kalau Dwandra banyak disukai semua orang, tapi kalau Bapak tidak banyak disukai perempuan," jelasnya agak melankolis. Semua anak terkekeh.

"Azfa, bagaimana bisa kamu mendapat nilai pelajaran Bapak dengan nilai yang sempurna?" tanya pak Tulus mengalihkan perhatian dengan candaannya itu yang tidak terlalu lucu. Perkataannya sangat mengejutkanku hingga mataku sedikit melebar.

"Memangnya nilai Azfa berapa, Pak? Dan siapa yang mendapat nilai tertinggi dan terendah?" tanya Yahya ingin tahu.

"Nilai seratus merupakan nilai paling sempurna dalam ulangan harian. Dan Azfa berhasil mendapatkan nilai itu dengan sangat baik. Sebelumnya, nilai tersebut belum pernah didapat oleh siswa manapun selama Bapak mengajar mata pelajaran BK di sekolah ini." Lagi-lagi, jawaban Pak Tulus membuat aku melongo. Pasalnya, pelajaran BK sangat sulit dipahami. Sepertinya Pak Tulus tahu bahwa tidak ada yang benar-benar memahami materinya selama beliau mengajar.

Aku hanya memahami beberapa poinnya saja, lalu aku mencari materi di internet seperti buku paket yang bisa dibaca secara online, sisanya saat ulangan harian pekan kemarin, aku mengarang semua jawaban dengan merangkai sesuai pemahamanku. Aku tidak percaya akan nilai yang baru saja pak Tulus ucapkan. Seketika, Yahya bertepuk tangan dengan cukup antusias.

"Woah, Azfa, hebat sekali. Berapa jam kamu bisa memahami dua bab materi BK?" tanya Yahya, benar-benar ingin tahu. Kali ini dia tidak sedang meledek maupun menghina—wajahnya berbinar karena kagum.

"Saya tidak yakin mendapat nilai seratus, mungkin Bapak ada yang salah kali mengoreksinya," jawabku dengan sangat jujur. Yahya tertawa keras mendengar itu.

"Bisakah kamu berhenti merendah, Azfa? BK memang bukan pelajaran tersulit seperti matematika atau kimia, tapi agak aneh saja untuk dipahami," katanya, membuat pak Tulus sedikit tersindir.

"Itu artinya kamu tidak cukup pintar, Yahya." Semua orang tertawa saat pak Tulus menjawab sindiran dari Yahya.

"Tidak beruntung saja, Pak," jawabnya, tidak mau kalah.

"Alasan saja kamu."

"Tapi jawaban yang saya tulis semuanya mengarang, bagaimana mungkin bisa mendapat nilai tertinggi?"

"Benarkah?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan pak Tulus yang sedang memastikan jika ucapanku tidak sedang mengada-ada.

Pak Tulus mengambil lembar ulangan harian milik seseorang, lalu mengumumkannya. "Nilai tertinggi dicapai oleh Azfa Zain dengan angka 100, dan nilai terendah di kelas ini, yaitu angka 45, dicapai oleh Fariya Nala. Baiklah, jam pelajaran selesai. Selamat istirahat, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucapnya menutup jam pelajarannya. Beliau membawa beberapa buku paket dan melangkah pergi setelah salah terjawab oleh kami.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab kami serempak. Beberapa menit kemudian dengan hebohnya Viana dan Diayu menghampiri mejaku, mereka berdua dari luar kelas setelah pak Tulus meninggalkan ruang kelas ini.

"Azfa, hari ini sekolah kita mendadak mengadakan bazar, ayo kita ke sana," kata Viana dengan antusias sambil menarik lenganku setelah aku selesai merapikan buku ke dalam tas. Aku mengikuti langkahnya. Semua anak bergegas turun ke lantai bawah menggunakan tangga manual. Alhasil, kami semua harus berdesakan untuk turun tangga. Beberapa anak sudah berkumpul di lapangan utama. Di sana sudah sangat ramai. Semua anak SMA 2 Bojong berkumpul dengan antusias.

"Ini bukan bazar tipuan, kan?" tanyaku memastikan. Pasalnya, beberapa bulan lalu ada sekelompok orang membuat acara bazar di sekolah kami tanpa sepengetahuan kepala sekolah, setelah diketahui ternyata itu bazar penipuan. Banyak korbannya. Aku melihat banyak staf guru sedang menikmati makanan.

"Semoga saja tidak. Lihat, di sana sudah ramai. Aku ingin membeli getuk dan bakmi Jawa, sudah lama sekali aku tidak makan bakmi Jawa," ujar Diayu dengan mata berbinar. Ia mengelus perutnya yang tidak begitu rata. "Aromanya enak sekali."

"Aku harap jam selanjutnya tidak ada pelajaran," kata Nala tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Kami bertiga menoleh.

"Kapan kamu datang?" tanya Viana.

"Baru saja, oh ya ampun, ramai sekali," kata Nala agak berisik. Anak itu menarik lenganku dan lengan Viana untuk bergandengan.

"Tumben ada acara bazar? Memangnya kepala sekolah sudah mengizinkannya? Kenapa mendadak sekali?" tanyaku penasaran. Seingatku, biasanya ketika ada bazar, para guru memberitahukan sehari sebelumnya, kepala sekolah juga ikut serta dalam perizinan acara ini. Tapi kemarin sama sekali tidak diumumkan apa pun.

"Sepertinya tidak ada acara khusus," jawab seseorang, bukan Nala, Diayu atau Viana, melainkan Adita dengan senyum menawannya. Adita ini dari kelas IPA A. Anaknya sangat cerdas, selalu menjadi peringkat pertama seangkatan sejak kelas 10. Tingginya 150 sentimeter, kulitnya tan eksotis, dan wajahnya manis. Anaknya sangat ramah pada siapa pun.

Lihat selengkapnya