Hujan turun semakin deras, seolah tak berniat berhenti. Suara gemercik yang terus-menerus membuat udara di dalam ruangan semakin dingin, memengaruhi suasana di sekitar kami. Kami merasa mengantuk dan bosan, seolah terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, mendengar penjelasan Bu Dianra di depan papan tulis. Apalagi di jam pelajaran terakhir, rasanya jarum jam di dinding tidak bergerak sama sekali, seolah waktu berhenti dan mengubah kami menjadi sangat bosan.
Sebagian dari kami sudah kehilangan fokus. Di sebelah mejaku, Nala dan Maulida terus menguap, sementara di depan meja mereka, Saqina bersandar tenang di bahu Diayu. Di sebelahku, Viana menopang dagunya, berusaha menahan kantuk yang sangat hebat, dan siswa lainnya berpura-pura mendengarkan tetapi mata mereka sudah tertutup.
Namun, ada rasa lega yang menyelinap di hatiku. Setelah beberapa pekan, mereka semua berhenti menjodoh-jodohkanku dengan Nian. Orang-orang berhenti mengolok-olokku seperti sebelumnya. Aku merasa bisa hidup dengan damai dan tenang tanpa gangguan mereka. Kabar baiknya, berat badanku sudah pulih kembali, meskipun jerawatku masih sering muncul, sembuh, lalu muncul lagi.
Bu Dianra berdehem cukup keras, membuat kami serempak terkejut, lalu berpura-pura mendengarkan penjelasannya dengan serius. "Baiklah, Ibu lihat sepertinya kalian sudah bosan dengan materi bab tiga ini. Bagaimana kalau kita main tebak-tebakan, tapi duduknya harus berkelompok. Satu kelompok berisi lima orang, sisanya enam orang. Ini untuk penilaian ulangan harian." Sepertinya Bu Dianra memahami suasana ini, sayangnya otak kami kali ini tidak ingin berpikir keras, kami sangat butuh istirahat.
"Bu, apa harus sekarang? Otak kami sudah beku, Bu, tidak bisa berpikir lagi," protes Dimaja.
"Alasan saja, kamu. Cepat berkumpul! Satu kelompok berisi lima orang sesuai urutan nomor absen," jawab Bu Dianra dengan tegas. Dengan langkah gontai, kami berjalan menuju kelompok masing-masing sesuai urutan absensi. Semua meja di kelas disatukan di tengah menjadi persegi panjang, lalu kami duduk di kursi yang memutari meja tersebut.
Kelompok pertama terdiri dari Alvi, Aldiansyah, Alviana, Annas, Azay, dan Azkiya. Aku mendapat kelompok dua yang terdiri dari: aku, Dwandra, Diayu, Dimaja, dan Dimas Pra. Lalu kelompok tiga terdiri dari Nala, Maulida, Saqina, Nian, dan Zan. Kelompok empat terdiri dari Esma, Mitt, Ahda Inda, Inna, dan Ravi. Sisanya adalah kelompok lima yang terdiri dari Yahya, Rin, Sila, Kana, dan Nisna.
"Kalian siap?" tanya Bu Dianra dengan tegas. Kami terlihat seperti manusia yang sedang kekurangan air, tanpa energi. Bu Dianra memberikan lonceng kecil seukuran genggaman tangan kepada setiap kelompok. Setiap meja kelompok diberi nomor untuk membedakan kelompok satu dan lainnya.
"Kalian bisa membunyikan lonceng di depan meja kalian jika kalian tahu jawabannya dan siap menjawab. Kita mulai sekarang." Kami mendengar dengan fokus. Aku duduk di antara Diayu dan Dwandra. Di sebelah Dwandra ada Dimaja dan Dimas Pra.
"Aku adalah bagian dari dirimu yang tak terlihat, namun selalu mendampingi dalam setiap langkah. Aku menjadi cermin bagi tindakanmu dan akan menghampirimu di ujung perjalanan. Siapakah aku?" Kami semua terdiam, mencerna baik-baik kalimat yang baru saja terlontar. Bu Dianra menunggu ada yang membunyikan lonceng, namun hingga lima menit berlalu, belum ada yang menemukan jawabannya.
"Apa di antara kalian sudah tahu jawabannya? Jika sudah, kalian bisa membunyikan lonceng di depan meja kalian," kata Bu Dianra. Aku menutup mata, mencoba meresapi kalimat tersebut. Lalu, aku membuka mata dan mengambil lonceng di meja kelompok kami.
"Iya, Azfa?" Semua orang diam menunggu aku berbicara, termasuk Bu Dianra. Dwandra menatapku tajam, memberikan isyarat dengan menaikkan kedua alisnya.
"Jawabannya adalah bayangan."
"Bagus sekali! Bisa kamu jelaskan, mengapa kamu menjawab bayangan?"
"Aku adalah bagian dari dirimu yang tak terlihat, itu merujuk pada bayangan, sesuatu yang tidak memiliki bentuk nyata dan tidak terlihat langsung seperti tubuh kita, tetapi selalu mengikuti kita. Bayangan selalu mendampingi kita dalam setiap langkah, selama ada sumber cahaya. Bayangan juga mencerminkan gerakan tubuh kita, sehingga bisa dianggap sebagai cermin bagi tindakan kita. Jadi, bayangan selalu ada hingga akhir perjalanan kita," jawabku dengan yakin.
"Dua puluh lima poin untuk kelompok dua," ucap Bu Dianra, sementara Dimaja bersorak riang.
Dwandra kemudian berbisik pelan, "Bagus, Azfa. Aku harap kelompok kita bisa memenangkan banyak poin." Aku hanya mengangkat ibu jari, seolah berkata, "Semoga saja."
"Jangan senang dulu, Dimaja. Masih ada enam soal lagi. Kita lanjutkan ke tebak-tebakan selanjutnya," kata Bu Dianra, membuat kami semua kembali fokus.
Bu Dianra mulai membacakan pertanyaan selanjutnya, semua anak yang tadinya mengantuk berubah menjadi segar. Kami ini terlalu ambisius, jika ada sesuatu yang membuat kami tertinggal, maka kami harus mengejar sesuatu itu agar tidak tertinggal.
"Dari daun-daun yang gugur hingga pohon-pohon yang tumbuh kembali, aku hadir dalam siklus yang abadi. Walau sering terlupakan, aku adalah bagian dari kehidupan yang tak pernah henti. Apakah aku?"
Dengan cepat, Dimaja menggerakkan lonceng di meja kelompok kami. Kami semua berpikir Dimaja telah mengetahui jawabannya. Kelompok kami merasa lega, sementara kelompok lainnya menghela napas kecewa karena Dimaja terlalu cepat mengetahui jawabannya, padahal soal baru selesai dibacakan. Apa mungkin si anak tengil dan diva kelas ini akan menyandang gelar baru menjadi jenius?