Retak

FAKIHA
Chapter #16

16. Semanis Baklava

Aku berangkat bersama Nala. Saat ini memasuki musim hujan, di mana jalanan banyak genangan air, sehingga pengendara roda dua bisa saja terpeleset jika tidak hati-hati. Kabut semakin tebal, udara dingin benar-benar menyentuh kulit sampai ke tulang. Kami semua memang selalu mengenakan kardigan tebal kecuali saat jam pelajaran berlangsung.

Saat kami berjalan di lantai pertama, Nala mengatakan sesuatu, "Kayaknya semua anak jadah itu pada centil semua, ya?" kata Nala dengan nada tidak suka. Aku tidak mengerti mengapa dia bisa begitu tidak menyukai anak-anak yang lahir di luar nikah. Itu bukan kesalahan mereka lahir dalam keadaan seperti itu.

Siapa pun tidak ada yang ingin takdirnya seperti itu. Di kampung halaman kami, orang mengatakan anak yang lahir dari hasil perzinahan orang tuanya disebut sebagai anak jadah. Sebenarnya kata itu sudah diperhalus, tetapi tetap saja, kata itu terdengar sangat kasar, apalagi bagi korbannya. Entah dari mana asal usul panggilan itu dimulai.

Aku memperhatikan sekitar, entah siapa yang sedang Nala bicarakan. "Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu sedang mengatakan anak jadah pada siapa?"

"Iza lah, siapa lagi? Lihat itu, lipstiknya seperti tante-tante. Apa dia tidak malu mengenakan make-up setebal itu? Dia benar-benar tidak kapok membawa banyak make-up dan disita di ruang OSIS." Ini bukan pertama kalinya Nala bersikap kasar seperti itu. Entah dendam apa yang membuatnya bisa sebenci itu pada mereka yang lahir karena kecelakaan yang disengaja orang tuanya.

"Nala, kamu ini kenapa sih? Selalu saja mengatakan hal kasar pada anak yang maaf... jadah," aku merasa tidak enak mengatakan sebutan itu.

"Tolong berhenti mengatakan hal kasar itu. Menurutku, panggilan itu tetap tidak sopan sekalipun disamarkan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi mereka yang selalu diejek karena kelahiran mereka yang tidak diinginkan. Kita juga tidak tahu kalau mereka harus mampu bertahan dari segala ejekan orang sekitar. Mereka tidak salah apa pun, Nala. Mereka tidak menginginkan lahir dalam keadaan yang dibenci oleh agama kita."

"Kalau kamu mau benci, benci saja orang tuanya. Mereka yang salah karena melakukan hal yang haram dalam agama kita. Kenapa anaknya yang harus mendapat sanksi sosial? Itu sangat menyakitkan."

"Kenapa kamu membelanya?"

"Aku tidak sedang membelanya. Aku hanya ingin pikiranmu lebih terbuka, jangan diliputi kebencian terus." Nala malah meninggalkanku setelah aku berkata demikian. Apa aku salah?

Dari kejauhan, Dwandra, Dimas Pra, dan yang lainnya berjalan kompak. Tiba-tiba suasana menjadi berbeda. "Aldiansah, cepat betulkan tali sepatuku!" titah Dimas Pra dengan suara keras. Semua orang yang lewat di koridor itu menoleh. Dimas Pra benar-benar gila, bagaimana mungkin temannya dipermalukan di depan banyak orang.

Aku berhenti sejenak karena agak syok dengan pemandangan yang baru saja kulihat. Selama ini aku berpikir hubungan persahabatan mereka sangat baik, terlihat dari kekompakan mereka. Namun, ternyata penilaianku salah total. Dimas Pra menganggap temannya bukan sebagai teman, melainkan sebagai orang yang harus menuruti keinginannya.

"Kenapa kamu terlihat tegang seperti itu? Itu sudah biasa Dimas Pra melakukan hal itu pada mereka," Nala menjelaskan tanpa aku minta. Tiba-tiba, Nala berhenti dari langkahnya. Dia berdiri sambil mengunyah cokelat batang yang dia ambil dari saku rok seragamnya.

"Ini bukan pertama kalinya Dimas melakukan hal itu?" Nala menggeleng saat aku bertanya hal itu. Aku semakin syok. Jadi, Nala sudah tahu hal ini? Bagaimana Nala bisa tahu semua hal kecuali mata pelajaran sekolah?

"Dimas Pra memang seperti itu. Yang diperlakukan baik hanya Dwandra; dia tidak berani menyuruh Dwandra melakukan hal itu." Aku benar-benar kehabisan akal dengan semua yang terjadi di sekolah ini. Itu artinya bukan hanya aku yang jadi bulan-bulanan korban bullying, tetapi masih banyak orang di sekitarku yang menjadi korban.

"Kenapa begitu?"

"Orang tua Dwandra termasuk dalam jajaran orang kaya sekaligus orang penting di tempat tinggalnya. Siapa yang berani melawan hal itu?"

"Tapi kenapa Dwandra hanya diam saja? Bukankah diamnya sama saja mendukung kelakuan buruk Dimas?" Nala menggeleng.

"Mungkin dia tidak bisa melakukan apa-apa, atau mungkin tidak ingin menceiptakan keributan. Kamu tahu kan, Dwandra itu tidak suka mencari masalah apalagi sampai membuat keributan?" ujar Nala dengan santai. Kali ini aku sependapat dengannya. Nala berjalan menuju ruang kelas kami sambil melewati huru-hara Dwandra dan sekawannya dengan langkah yang santai. Tidak biasanya anak itu bersikap demikian. Biasanya, Nala lebih memilih putar balik daripada harus melewati kerumunan anak laki-laki.

Aku juga melewati mereka seolah tidak ada apa pun di sana. Saat aku masuk kelas, Alvi dan Nala sedang adu argumen. Kali ini entah apa lagi yang diributkan.

"Cepat bangun, Alvi! Aku tidak suka kalau kamu duduk di kursiku!" Dengan nada marah, Nala terus menarik seragam Alvi, sementara Alvi tidak kunjung bangun dari kursinya. Baju seragam OSIS Alvi jadi berantakan. Lalu mereka saling adu mulut.

Aku hanya mendengar mereka yang sibuk bertengkar. Sudah biasa jika mereka selalu seperti itu, bertengkar seperti anak kecil. Nala tidak suka diganggu, sementara Alvi suka sekali menggodai Nala sampai anak itu sampai marah-marah.

Nala itu sangat tidak sopan dan suka sekali ringan tangan, padahal dia perempuan. Siapa pun yang menyentuh dirinya atau barang miliknya, dia selalu refleks memukul, mencubit, atau menampar, tanpa memandang bulu, selama itu laki-laki maka dia akan melakukan tindakan tersebut. Jika suatu barang disentuh, dia cepat membersihkannya dengan disinfektan. Naas sekali orang yang menjadi korban physical attack olehnya.

"Bisa tidak sih, kamu tidak perlu teriak heboh seperti ini? Aku hanya menumpang duduk dan tiduran di meja kamu. Aku tidak melakukan aneh-aneh sama kamu," kata Alvi tidak terima. Lalu, dengan cepat Alvi segera berdiri dan meninggalkan Nala dengan wajah yang muram.

Aku kembali mengingat kosa kata bahasa Inggris yang harus aku hafal. Mataku sekilas menangkap sosok Nala yang sedang mengelap kursi dan mejanya dengan tisu basah. Nala seperti memiliki gangguan Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) atau gangguan obsesif-kompulsif. Seperti yang kita ketahui, OCD adalah gangguan kecemasan di mana seseorang memiliki pikiran yang berulang (obsesi) tentang kebersihan atau ketertiban dan merasa harus melakukan tindakan tertentu (kompulsi) untuk meredakan kecemasan tersebut.

Mungkin ini berlebihan, tetapi ada orang yang seperti itu. Aku tidak bisa menyalahkan sepenuhnya tentang Nala. Hanya sikapnya yang berlebihan ini seharusnya bisa dia kendalikan, terutama tangannya yang terlalu ringan tangan. Setelah itu, Nala menekuk wajahnya.

"Azfa," sapa Viana tiba-tiba setelah menaruh tasnya di samping meja kami. Aku menutup buku catatan kosa kata bahasa Inggris dan menoleh ke arah Viana. Anak itu tersenyum lebar.

"Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang sangat baik terjadi? Mau cerita?" tanyaku sambil melipat tangan. Aku menyambutnya dengan suka cita. Tiba-tiba, Viana menarik tanganku dan membuatku memutar badan seperti berdansa.

"Ada apa? Sepertinya kamu bahagia sekali?"

Lihat selengkapnya