Orang-orang menyebutnya pagi buta, padahal jam sudah memasuki pukul 06.30. Itu karena kabut di langit sangat gelap. Jika hal ini terjadi dalam film horor, mungkin beberapa menit kemudian akan muncul sesosok hantu menyeramkan. Sepertinya, pagi ini matahari enggan menampakkan diri.
Saat aku melewati koridor IPA kelas C, banyak orang berkumpul di depan kelas itu. Sepertinya, seseorang telah membuat pagi ini menjadi sangat ramai dibandingkan pagi biasanya. Lihatlah, Nala, si makhluk parasitisme itu, segera berlari pada kerumunan tersebut, membelah puluhan murid yang sedang berdiri melingkar pada sesuaatu itu. Anak itu memang tidak ingin ketinggalan berita yang beredar, sekalipun hanya terlewat satu detik.
“Ada ramai-ramai apa?” tanya Nala ingin tahu. Aku masih bisa mendengarnya. Sepertinya dia juga baru berangkat, terlihat dari tas ransel berwarna merah muda yang masih menempel di punggungnya.
“Aliza, kerasukan lagi,” jawab Ravi dengan santai. Ini bukan pertama kalinya Aliza kerasukan. Aku berjalan masuk, membelah kerumunan itu. Benar saja, Aliza sulit sekali mengendalikan dirinya, atau mungkin sesuatu yang negatif telah mengendalikan tubuhnya. Secara ilmiah, kerasukan sering dijelaskan sebagai gangguan mental, seperti disosiatif atau psikotik, di mana seseorang kehilangan kendali atas dirinya dan mungkin mengalami halusinasi.
Namun, dalam pandangan Islam, kerasukan dianggap sebagai gangguan dari jin yang bisa masuk ke tubuh manusia. Hal ini bisa terjadi jika seseorang lemah imannya atau tidak melindungi diri dengan zikir dan doa. Islam mengajarkan perlindungan melalui ayat-ayat Al-Qur'an, seperti Ayat Kursi. Beberapa penelitian, termasuk dari Journal of Religion and Health, menyebutkan bahwa fenomena ini sering terkait dengan kepercayaan budaya dan agama.
"Minggir kalian, lepaskan tanganku! Apa kalian tidak dengar? Apa kalian sudah tuli? Cepat lepaskan!" kata Aliza dengan amarah yang memuncak. Aliza terus berteriak dengan matanya memerah hebat, namun hanya menyisakan pandangan kosong.
Beberapa anak laki-laki terus mencekal tangan dan kaki Aliza yang terus memberontak, namun sayangnya, empat orang seakan tidak sebanding dengan tenaganya Aliza saat kerasukan. Ini bukan pertama kalinya Aliza kerasukan seperti ini. Dia sudah mengalami ini lebih dari lima kali. Akhir-akhir ini, pandangan Aliza selalu kosong. Delapan kawannya hanya bisa menonton karena tidak mampu berbuat apa pun.
Aliza terus menggeram dan mencaci, tubuhnya bergetar hebat. "Lepaskan! Kalian pikir bisa menghentikanku?" Suara itu menggelegar, tidak lagi seperti suara Aliza yang biasanya lembut. Matanya melotot, bola matanya berkilat, menatap setiap orang dengan penuh kebencian, lalu tertawa mengejek.
Anak-anak laki-laki yang menahan Aliza mulai kewalahan. Tubuhnya memang agak berisi, tapi tidak gemuk, seolah memiliki kekuatan luar biasa. Ravi, yang memegang kedua lengannya, mulai terlihat pucat, sedangkan Fadli, anak kelas IPA C, berkeringat deras saat berusaha menahan kakinya. "Cepat panggil Pak Tulus!" seru Dito cemas, suaranya terguncang.
Nala, yang tadinya hanya berdiri menonton di tepi, mulai gelisah. "Ini serius... dia tidak bisa dibiarkan seperti ini. Bagaimana kalau jin di dalam tubuh Aliza mencengkeram Dito, Ravi, dan yang lainnya? Ini benar-benar gila," gumamnya sambil melirik ke arahku.
"Oh, diamlah.... jangan membuat suasana semakin keruh," kata Sila memperingatkan. Tiba-tiba, dia sudah berdiri di samping kami. Nala terdiam. Anak itu tidak ingin mengucapkan kata-kata lagi.
Aku melangkah semakin dekat, menahan napas, sambil menyaksikan Aliza yang mendadak berhenti memberontak. Anak-anak yang tadi panik kini tampak mulai tenang, lalu pelan-pelan melepaskan tangan dan kaki Aliza. Beberapa dari mereka, termasuk Fadli, masih melantunkan Ayat Kursi dengan suara pelan.
"Allahu la ilaha illa Huwa al-Hayyul Qayyum..." Fadli melanjutkan, tampak memastikan bahwa Aliza sudah kembali pulih.
Aliza yang tadinya terdiam, kini menatap Fadli dengan tajam. Mulutnya perlahan bergerak, seperti berusaha mengatakan sesuatu tanpa bersuara. Aku mulai merasakan ada yang aneh. Tiba-tiba, Aliza bicara, suaranya tenang namun penuh sindiran.
"Heh, salah... Bodoh. Bacaannya yang benar, bukan begitu..." ujar Aliza, matanya tidak lepas dari Fadli. "Seharusnya 'Allahu la ilaha illa Huwa,' bukan 'illa huwal'," lanjutnya, mengejutkan semua orang.
Fadli berhenti membaca, wajahnya pucat. "A-apa? Bagaimana dia bisa tahu?" bisiknya sambil melirik ke arah kami yang juga terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Apa sudah sadar, Aliza?"
"Diam, bodoh. Apa kamu wartawan, suka sekali bertanya." Tubuhnya memang Aliza, tapi jiwanya bukan Aliza. Aliza memang tidak begitu baik, tapi dia jarang mengatakan perkataan yang kasar.
"Aku lebih cerdas dari kamu. Jadi, aku tahu kamu salah membacanya." Situasinya menjadi semakin janggal. Semua anak menatap tidak percaya dengan hal baru saja terjadi. Aliza tidak hanya tenang, tetapi kini malah tampak lebih sadar—meskipun kata-katanya terasa tidak wajar. Benar saja, saat mereka semua lengah, Aliza mendorong Fadli cukup keras, membuat anak itu meringis kesakitan.
Tiba-tiba, dengan cepat, Aliza berdiri dan berjalan menuju ke arahku. Tidak ada persiapan apa pun, Aliza mencekik leher Nala. Saat itu juga, Nala panik setengah mati.
"Aliza.... lepaskan.... tanganmu.... aku tidak bisa napas," kata Nala dengan terbata-bata. Nala berusaha keras melepaskan tangan Aliza, tetapi Aliza terus mencekiknya sambil tertawa keras.
"Aliza, tolong lepaskan Nala!" kata Reka dengan tegas, dia dari kelas IPA A.
Namun, Aliza malah tampak ingin bermain-main. Suaranya berubah menjadi seperti anak kecil sambil tertawa.
"Kamu minta lepas? Tapi sayang, tadi temanmu juga tidak melepaskanku saat aku minta agar mereka melepaskan tanganku," ucapnya sambil tertawa lagi.
"Jadi aku lakukan ini sebagai pembalasan tindakan temanmu itu. Kamu dengar itu?"
"Dia bukan temanku," elak Nala. Anak itu tidak berhenti memberontak ketika Aliza semakin mendektakna wajahnya. Kemudian tertawa lagi.
"Tolong lepaskan, Nala!"
"Aku tidak mau. Kalau kamu paksa aku, maka aku akan mencekiknya lebih erat lagi." Itu bukan sekadar ancaman, Aliza yang tengah kerasukan benar-benar seperti orang gila, sampai Nala terbatuk-batuk dan mengeluarkan air mata. Saat ini, Nala benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun, dan kami semua tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam sekejap, situasi semakin kacau.
"Tolong, panggilkan Pak Tulus, sekarang! Jangan sampai Nala mati karena dicekik Aliza, dia bisa kehabisan napas," seru Fadli penuh empati. Ravi segera berlari ke kantor guru.
"Jangan ada yang mendekat! Kalau tidak mematuhiku, akan aku habisi nyawa anak ini," katanya terus memgancam.