Retak

FAKIHA
Chapter #18

18. Si Makhluk Plot twist

Matahari mulai menampakkan diri sekitar jam sepuluh pagi. Di sini, langitnya akan selalu terlihat seperti akan turun hujan. Ketika memasuki jam sepuluh, barulah matahari terlihat seperti jam setengah tujuh di kota-kota besar. Cahaya matahari itu masuk ke sela-sela jendela di setiap ruang sekolah. Dwandra, yang tengah duduk di samping jendela arah utara itu, segera menutup gorden agar pantulan cahaya itu tidak menyilaukan mata semua orang. Dwandra itu sangat cekatan dalam segala hal. Aku lihat, dia juga sangat memiliki indera perasaan yang tinggi.

Berita tentang hilangnya Nisna sampai ke telinga seantero SMA Negeri 2 Bojong, termasuk para guru. Saat jam pelajaran berlangsung, Bu Ria terus bertanya pada Rin untuk memastikan. "Rin, apa Nisna sudah ditemukan? Ini sudah siang. Apa kamu belum menerima kabar baik dari keluarganya?"

"Belum ada, Bu," jawab Rin seadanya. Rin—teman kelas kami yang sifatnya sebelas dua belas denganku, pemalu dan bicara seadanya. Lalu Bu Ria kembali ke tempat duduknya. Kami semua sedang mengerjakan tugas biologi sampai satu jam ke depan. Aku segera mengumpulkan buku tugas biologi ke depan.

Saqina duduk di belakangku, biasanya dia duduk bersama Sila di meja depan dekat pintu. "Azfa, tadi nomor sebelas jawabannya apa?" Aku menoleh saat Saqina bertanya. Aku mengambil buku LKS dan menunjuk jawabannya. Aku memberikan jawabannya karena aku sedang berlaku baik. Biasanya iya, tapi terpaksa.

"Halaman dua puluh tujuh, paragraf tiga dan empat. Aku tulis semua," kataku sambil mengembalikan buku LKS-nya. Saqina segera mengucapkan terima kasih. Viana bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mengumpulkan tugasnya ke depan. Tiba-tiba, Dwandra duduk di sampingku, di kursinya Viana. Aku menoleh sesaat, bukan hanya Dwandra, tapi Zaldiansyah juga melakukan hal yang sama, dengan duduk di samping Saqina. Anak itu mengusir Rin secara halus untuk pindah ke mejanya Saqina.

"Kalian kenapa, duduknya malah pindah? Apa sudah bosan duduk di pinggir jendela sebelah utara?" komentar Viana saat melihat tempat duduknya diisi oleh Dwandra.

"Sebentar saja, Viana. Siapa tahu dengan duduk di kursimu, nilai biologiku bisa di atas KKM," jawab Dwandra dengan santai. Sementara itu, Viana mendengus kesal. Anak itu berjalan ke meja Alvi karena Zan tidak masuk.

Bu Ria keluar dari ruangan kami, beliau sedang mengangkat panggilan. Sementara itu, dua orang mengganggu ketenanganku saat aku duduk sambil iseng menggambar sesuatu. Zaldi dan Dwandra, entah apa yang terjadi pada mereka berdua.

"Azfa, tadi nomor lima jawabannya apa?" tanyanya cukup lembut.

"Jawabannya ada di LKS dan buku paket semua. Kamu bisa cari baik-baik," kataku cukup malas untuk memberitahu jawaban soal yang jelas sudah ada di LKS dan buku paket. Bukannya pelit, aku hanya tidak suka dengan lingkungan para pembully.

Sementara di belakang mejaku, Saqina malah terkekeh pelan. "Aku tahu," jawabnya dengan santai.

"Terus kalau kamu tahu, kenapa tanya?" kataku ketus. Dwandra menatapku cukup lekat. Aku segera membuang muka; aku tidak ingin lama-lama melihat matanya yang cukup dalam itu. Ini bukan sedang berada dalam adegan romantis seperti yang kalian lihat di dalam drama dari negara mana pun. Aku merasa yakin kalau Dwandra sedang memanipulasi agar aku memberikan jawaban. Dia seperti penghipnotis andal saja.

"Ya, aku sedang mengetes saja, apakah jawabanmu benar atau tidak," jawabnya tanpa ekspresi. Dwandra itu makhluk paling serius yang pernah aku kenal, tapi terkadang dia juga bisa bercanda. Sialnya, aku tidak bisa membedakan antara dia sedang bercanda atau serius, karena benar-benar tidak bisa dibedakan.

"Bilang saja kalau kamu ingin menyontek." Aku menghela napas panjang, dan Dwandra malah terkekeh pelan.

"Nah, tebakannya kurang tepat." Dwandra mengatakan itu sambil menulis jawaban yang lain. Setelah itu, aku menyerah. Aku benar-benar tidak ingin diganggu. Aku memberikan dua jawaban soal yang belum Dwandra kerjakan.

"Terima kasih, Azfa," katanya dengan tersenyum simpul. Aku hanya mendengus sebal.

"Sama-sama. Kalau nilai kamu tinggi, jangan terlalu bangga, itu tambahan dari otakku," kataku. Dwandra hanya tersenyum tanpa merasa tersinggung. Lagi-lagi di meja belakangku terdengar terkekeh.

"Apa secara halus kamu sedang mengatakan bahwa kamu menyumbang sesuatu pada orang kaya, Azfa?" tanya Zaldi dengan bercanda.

"Aku tidak bilang begitu," kataku.

"Ya, memang benar, kamu tidak mengatakan itu. Tapi kita tahu, kita bisa menyumbangkan sesuatu yang mereka butuhkan, bukan? Dwandra memang kaya, tapi seperti yang kita tahu, ilmu biologinya masih kurang. Maka dari itu, kamu menyumbangkan dua puluh persen otakmu padanya. Itu hebat sekali." Zaldi sengaja memojokkanku secara terang-terangan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang tua Dwandra merupakan orang yang kaya dan terhormat, baik di lingkungan maupun di kota ini. Beliau juga pernah menjadi guru dan kepala sekolah di sini beberapa tahun lalu. Sekarang sudah pensiun sekitar dua tahun lalu. Aku mengetahui informasi itu dari Nala. Semua tentang Dwandra aku tahu karena Nala dan Rita sering bercerita. Lama-kelamaan, aku akan tahu banyak tentang dirinya berkat mendengar cerita orang yang menyayanginya.

"Itu katamu, bukan jawaban dari pertanyaanku." Sekarang aku kalah telak. Aku memang tidak pandai merangkai kata untuk berdebat. Bagaimana aku bisa pandai berdebat kalau aku sering menghindari perdebatan apa pun? Itu juga berlaku hari ini.

"Semoga berhasil," kataku terakhir.

"Terima kasih," kata Dwandra masih dengan ramah. Sementara dua manusia di belakangku masih terkekeh pelan. Viana memanggilku, aku rasa dia sedang menyelamatkanku dari perdebatan konyol ini. Aku segera menghampirinya.

"Azfa, apa kamu tahu tempat ini?" tanya Viana saat aku menghampirinya. Aku duduk di sampingnya setelah Alvi meninggalkan tempat duduknya dan mengumpulkan buku tugasnya. Setelah itu, Alvi bertukar kursi denganku. Viana menunjukkan lokasi di Google Maps pada daerah yang tidak aku kenali. Aku selalu di rumah, jarang pergi ke mana-mana. Jadi otak geografiku tidak begitu terasah.

Lihat selengkapnya