Retak

FAKIHA
Chapter #19

19. Tempat Yang Sama

Sekitar jam sembilan pagi, matahari sudah menampakkan diri, namun sayangnya tidak membuat udara menghangat. Udara di sini tetap dingin. Aku memakai kaus rajut panjang tebal berwarna hijau toska, dipadukan dengan rok tutu berwarna putih dan hijab pashmina senada dengan rajut yang kupakai. Aku juga memakai sneakers putih sebagai pelengkapnya.

Saat ini, aku bersama rombongan satu kelas mengunjungi tempat ini. Aku terus memandangi pemandangan di depanku dengan takjub, sekaligus mengabadikannya dengan mengambil foto menggunakan kamera handphone-ku. Meski ini bukan pertama kalinya aku berdiri di tempat ini, setiap detail terasa begitu segar di ingatanku, seolah-olah aku baru saja menemukan tempat baru.

Pepohonan hijau membentang luas sepanjang jalan yang membentuk huruf S, dahan-dahannya melambai lembut ditiup angin, menciptakan udara yang begitu sejuk. Jalanan berliku di bawahnya tampak begitu mulus, seakan dibentuk oleh tangan yang ahli, mengundang siapa pun untuk menjelajah tanpa terburu-buru.

Di sisi lain, sungai yang begitu jernih mengalir perlahan. Airnya berkilau dalam nuansa biru muda, memberikan kesan damai yang tak tergantikan. Langit terbentang tanpa cela, tidak ada satu pun awan yang menghalangi warna biru cerahnya. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan teratur, seakan tahu bahwa mereka hanyalah pelengkap di tengah harmoni alam ini. Aku berdiri di pinggir jalan, membiarkan diriku larut dalam kedamaian ini. Setiap helaan napas terasa lebih ringan, seolah semua beban hidup tersapu oleh keindahan yang sederhana namun sempurna di depanku.

"Azfa." Itu suara Diayu dari kejauhan. Aku segera menoleh. Ia melambaikan tangan lalu berlari menghampiriku. Aku tersenyum lebar. Hijab pashmina berwarna hijau toska yang kupakai sedikit terhembus angin, membuat wajahku terasa segar.

"Apakah kamu bisa menjelaskan kita sedang berada di mana?" tanya Diayu penasaran. "Aku tanya ini karena kamu selalu tahu segala hal."

"Tapi aku bukan Google yang bisa memberi tahu banyak hal, Diayu."

"Jangan pura-pura tidak tahu, Azfa. Aku tahu kamu tahu tempat ini." Aku menghela napas panjang saat Diayu memaksaku untuk menjelaskan.

Pasalnya, Bu Ria sebelumnya tidak mengatakan apa pun soal ke mana kami akan pergi. Beliau hanya berkata bahwa kami akan pergi ke suatu tempat yang sangat indah. Benar saja, jauh dari tempat tinggal kami, tempat ini memakan waktu sekitar dua jam perjalanan. Tapi aku sedikit tahu tentang tempat ini karena sebelumnya aku pernah mengunjunginya.

"Apa kamu tidak tahu kita sedang berada di mana?" tanyaku balik. Diayu menggeleng lemah. Aku berdiri di sampingnya, menunjuk arah gunung dan pepohonan yang begitu indah itu. "Lihatlah, itu Gunung Slamet, pepohonannya, dan pemandangan lainnya. Tidakkah kamu ingat kita berada di daerah Guci paling ujung, dekat Desa Dukuhbenda dan Batumirah?" Diayu malah menggeleng.

"Benarkah ini di Guci ujung? Tapi kenapa kita lama sekali sampainya? Bukankah perjalanan dari sekolah kita menuju Desa Guci hanya tiga puluh menit?"

"Karena tadi sopirnya mengambil jalan pintas, tapi ternyata malah lebih jauh."

"Benarkah? Ini sangat indah sekali. Tempat seindah ini ada di Guci. Azfa, lihatlah ke arah sungainya, begitu biru. Seumur hidup, baru tahu kalau ada sungai biru muda seperti di kartun-kartun. Ini terlalu indah jika kita hanya berada di sini sebentar." Aku setuju dengan pendapat Diayu. Lalu, aku berjalan kembali sendirian, sementara Diayu asyik mengabadikan foto yang pastinya akan memenuhi memori handphone-nya.

Tunggu, otakku seperti memberikan sinyal, aku benar-benar pernah ke sini. Tempat ini sangat tidak asing. Oh... aku ingat sekarang, sebenarnya aku belum pernah ke sini, tapi aku pernah bermimpi berada di sini. Pantas saja, aku merasa tempat ini tidak asing. Semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Aku tengah duduk di atas batu besar di tepi sungai yang jernih. Baru beberapa menit duduk menikmati udara segar, tiba-tiba saja air mengalir deras sampai ke bebatuan di sampingku, lalu dengan cepat menggulung tubuhku. Aku tidak siap untuk hal ini. Secara cepat, aku kehabisan napas, tubuhku diterjang air sungai. Sialnya, aku juga tidak bisa berenang. Aku berusaha mengendalikan diri untuk mengalihkan rasa panik, lalu berteriak sekencang mungkin meminta tolong. Namun, mereka tampaknya mengabaikanku, atau mungkin mereka tidak mendengarkanku, padahal jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya seratus lima puluh meter.

Beberapa saat lagi, aku pasti akan pingsan. Aku sangat trauma dengan tenggelam. Beberapa tahun lalu, saat acara perpisahan sekolah dasar, aku tenggelam di dasar kolam renang yang tingginya dua meter karena kakiku terlepas dari ban besar yang kami naiki bertiga. Napasku terasa sesak, mataku perih, namun beberapa menit kemudian, seseorang mengulurkan tangannya untuk membantuku, dan aku selamat.

Aku pikir saat itu yang menolongku adalah Diayu atau Ella. Aku mengucapkan terima kasih karena telah menolongku; kalau tidak, mungkin aku sudah pingsan atau meninggal di sana. Namun, mereka kebingungan dengan pernyataanku. Mereka tidak tahu kalau aku tenggelam, dan yang lebih mengejutkan lagi, bukan mereka yang menolongku. Lalu siapa? Di ban besar itu hanya kami bertiga yang duduk.

Kejadian ini seperti terulang. Samar-samar, aku mendengar suara Diayu berteriak tidak jauh dari sungai yang hampir menenggelamkanku. Sepertinya dia melihatku. Dia berteriak meminta siapa pun untuk menolongku. Apakah itu benar-benar Diayu?

Beberapa orang mencoba menyelamatkanku dengan menggunakan balon berbentuk perahu ukuran agak besar. Mereka mengulurkan tangan, tapi tanganku tidak segera menjabatnya karena kebas. Mereka akhirnya memaksaku dengan menarik tanganku. Salah satu dari mereka menjeburkan diri dan mengangkat tubuhku ke perahu balon besar itu.

Setelah sampai di tepi sungai, mereka segera berusaha menyadarkanku. Aku setengah sadar, terbatuk-batuk hebat, mengeluarkan air yang masuk ke tenggorokanku. Napasku terasa berat, dadaku sesak, dan seluruh tubuhku gemetar karena dingin dan syok.

Diayu berlutut di sampingku, wajahnya pucat ketakutan. "Azfa, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara serak.

Aku mencoba mengangguk, tapi kepalaku terasa berat. "Aku... aku baik-baik saja," jawabku dengan suara lemah.

Bu Ria dan beberapa teman sekelas mendekat, wajah mereka penuh kecemasan. "Kita harus segera membawa Azfa ke tempat yang lebih hangat," ujar Bu Ria tegas.

Beberapa teman laki-laki membantuku berdiri, dan aku berjalan dengan langkah limbung, masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti mimpi buruk yang kembali menghantui, dan aku tak bisa mengusir perasaan takut yang masih menghimpitku.

Lihat selengkapnya