Retak

FAKIHA
Chapter #20

20. Kisi-kisi

Aku berjalan menuju kamar dengan pikiran yang masih dipenuhi keraguan. Di satu sisi, aku ingin percaya pada Rita, karena dia teman baikku. Namun, sayangnya, pengalaman sebelumnya membuatku harus bertindak lebih berhati-hati. Berapa kali sudah orang-orang meminjam sesuatu dariku tanpa mengembalikan tepat waktu, dengan janji yang seakan-akan akan dipenuhi, tetapi akhirnya diingkari? Beberapa orang terdekatku bahkan memanfaatkanku. Beberapa barang tak terhitung oleh jari juga tak pernah kembali. Aku benar-benar tidak ingin itu terjadi lagi, terutama dengan seragam taekwondo ini—salah satu barang yang paling aku jaga karena sering kugunakan untuk latihan.

Sesampainya di kamar, aku membuka lemari dan menarik seragam taekwondo yang sudah rapi terlipat di dalamnya. Aku memeriksa lagi, memastikan tidak ada noda atau kerusakan. Setelah merasa semuanya baik-baik saja, aku melangkah keluar dan kembali menemui Rita dengan paper bag berisi seragam taekwondo.

Rita tersenyum melihatku. “Terima kasih banyak ya, Azfa. Kamu benar-benar bantu aku kali ini. Aku janji akan menjaganya dengan baik. Aku bukan hanya janji, aku akan menepatinya. Kalau aku lupa, tolong ingatkan lewat pesan WhatsApp atau apa pun itu."

Aku menyerahkan seragam itu, namun masih menatapnya dengan hati-hati. “Aku pegang ucapan kamu. Memang, ini terlalu berlebihan. Tapi percayalah, aku tidak ingin mengucapkan hal ini. Banyak orang mengucapkan janji, tetapi mereka malah mengingkari dan membuatku kesal. Tolong, jangan sampai rusak, apalagi hilang.”

Rita mengangguk penuh keyakinan. “Iya, aku paham kok. Kamu bisa tenang. Aku juga tidak suka kalau ada barang orang yang hilang atau rusak. Aku pasti akan menjaganya."

Dwandra, yang dari tadi duduk sambil asyik dengan rokoknya, ikut bicara. “Kamu tidak perlu terlalu khawatir, Azfa. Kalau Rita bilang bakal jaga, kamu bisa percaya. Aku tahu kakakku seperti apa. Dia juga tidak suka ingkar janji."

"Ya, kadang-kadang kita dibuat tidak percaya sama orang lain, sekalipun orang itu sangat baik, hanya karena seseorang yang tidak baik yang pernah kita temui sebelumnya. Khawatir itu wajar sebagai antisipasi agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama seperti sebelumnya."

"Tapi kita juga perlu ingat sesuatu, tidak semua orang itu karakternya sama. Seperti yang aku bilang sebelumnya, beberapa orang merusak kepercayaan, tetapi bukan berarti kita menuduh semua orang akan melakukan hal yang sama seperti orang-orang yang pernah kita kenal sebelumnya."

Aku menatap Dwandra sejenak. Sekali berbicara, dia berbicara panjang lebar. Apalagi setiap ucapannya tidak mampu kubantah.

Rita, yang merasa suasana sedikit canggung, buru-buru menambahkan, “Tenang, Azfa. Setelah pertandingan selesai, aku akan langsung mencuci dan mengembalikan ke kamu.”

Aku mengangguk, mencoba meredakan sedikit kecemasanku. “Baiklah, aku percaya kamu. Jangan sampai mengecewakan, ya.”

Rita tersenyum penuh keyakinan. "Tidak akan. Aku akan mengembalikannya tepat waktu. Kalau begitu, kami pamit pulang. Terima kasih sudah meminjamkan seragam ini. Assalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam. Sama-sama. Hati-hati, jalanan ke arah utara sedang rusak parah. Sebaiknya kalian ambil arah jalan tenggara saja. Jalannya lebih baik."

"Terima kasih sarannya, Azfa. Kalau begitu, kami pamit," kata Dwandra yang berjalan keluar lebih dulu, mendahului Rita yang menghampiri motornya yang mahal. Aku mengantarnya sampai depan pintu. Rita melambaikan tangannya dan mereka benar-benar pergi. Aku menarik napas sebanyak mungkin. Rasanya sesak sejak Dwandra mulai merokok. Selama dia mengisap asap rokok, selama itu juga aku menahan napas agar tidak batuk-batuk.

Setelah itu, aku kembali masuk ke rumah dan membereskan bekas rokok, cangkir, dan makanan yang tadi kusajikan untuk mereka. Tentunya aku menahan napas, kalau tidak, aku akan mual atau batuk, sekalipun asapnya sudah tidak ada.

Setelah selesai, aku pergi ke kamarku. Namun, pikiran tentang Dwandra masih berkecamuk. Sejak kapan dia mulai merokok? Dulu dia selalu bilang kalau rokok itu tidak baik. Ada sesuatu yang berubah, dan aku tidak tahu apa. Apa mungkin ini karena pergaulannya? Aku agak asing dengan asap rokok, karena keluargaku tidak merokok. Hal itu membuatku batuk-batuk, karena aku sensitif terhadap asap rokok dan semua yang berbau asap.

****

Selang beberapa bulan kemudian.

Kali ini, kami semua benar-benar disibukkan untuk mempersiapkan ulangan akhir semester yang akan dilakukan dua hari lagi. Masih sama seperti ulangan akhir semester sebelumnya, semua guru memberikan kisi-kisi sesuai materi pelajaran masing-masing. Aku menghela napas panjang, hari ini harus membeli fotokopian kisi-kisi lagi. Uangku benar-benar habis untuk membeli kisi-kisi. Memang tidak begitu mahal karena hanya beberapa lembar saja, tetapi tetap saja, aku merasa rugi karena setelah selesai dikerjakan, kertas itu harus dibuang.

Kepalaku sedikit pening. Dalam satu minggu penuh kemarin, kami telah selesai melakukan ujian praktik sebelum ulangan akhir semester itu dilaksanakan. Dari empat hari yang lalu sampai sekarang, semua guru mata pelajaran kompak membebaskan jam pelajaran dengan mengganti kegiatan mengerjakan kisi-kisi setiap pelajaran untuk ulangan akhir semester. Suasana kelas menjadi acak. Rita dan Faozia masuk ke kelas B, begitu juga dengan kelas C lainnya. Mereka berbondong-bondong masuk ke kelas B untuk menukar jawaban kisi-kisi.

Kelas C itu ada saja cara ide cerdiknya. Sekalipun mereka tidak begitu terlihat secerdas kelas A dan B, tetapi akal mereka selalu jalan. Itu yang dinamakan cerdik, atau mungkin mereka hanya malas saja terlihat seperti orang cerdas kebanyakan. Rita menghampiriku dengan sangat heboh. Aku hanya memasang senyum tipis, tenaga kami habis digunakan untuk terus mencari dan menulis jawaban kisi-kisi selama satu minggu ini.

"Hai, apa kabar?" tanyanya dengan antusias.

"Alhamdulillah, silakan duduk, Rita, Faozia!" kataku. Mereka sengaja membawa kursi dari kelas C untuk bergabung ke kelas B. Kami jadi tukeran, sebagian dari kelas kami juga masuk ruang kelas C. Sementara kelas A sebagian lagi menukarnya dengan kelas D. Mereka segera duduk di antara aku dan Viana. Kami sengaja menggabungkan dua meja agar tetap luas.

"Terima kasih," kata mereka berdua.

"Apakah kalian sudah selesai mengerjakan semua kisi-kisinya?" tanyaku sambil melirik tumpukan kertas di hadapan mereka.

Rita menghela napas panjang. "Belum, masih ada dua mata pelajaran yang belum kami kerjakan. Rasanya otak sudah mau meledak!" Dia tertawa kecil. Rita melihat sekeliling seperti sedang mencari seseorang.

Lihat selengkapnya