Retak

FAKIHA
Chapter #21

21. Hukum tabur-tuai

Tempat duduk selama ulangan tengah semester ini harus sesuai nomor urut absen. Aku kebagian di meja nomor dua. Ruang kelas sebelas B dicampur dengan kelas sepuluh IPA B. Aku duduk bersama adik kelas yang cerewet sekali. Membuat tenagaku seperti terkuras habis olehnya, anehnya aku malah menanggapi celetukannya yang tidak berhenti. Dia selalu tanya ini atau itu. Setiap soal yang sulit, selalu tanya. Dan ajaibnya lagi, aku masih bisa mengingat jawaban soal yang ditanyakan adik kelasku ini.

"Put, coba ingat-ingat dulu materinya. Aku yakin, kamu tidak mungkin lupa semuanya," kataku. Anak itu malah memasang wajah memelas.

"Tapi ini susah semua." Puput terus mengeluh. Ada saja pertanyaan ajaib yang ditanyakan padaku. Selain soal dari ulangannya itu, dia juga ingin tahu banyak hal, kenapa ini, kenapa itu. Aku terus sibuk mengingat jawaban yang sudah aku baca beberapa kali.

"Kak, aku tahu jawabannya." Dengan cekatan Puput segera menulis jawaban yang kiranya benar. Dwandra berdesis memanggil seseorang untuk mendapat contekan. Di meja pengawas hanya duduk Bu Amelia—beliau guru Bahasa Inggris—memasang wajah serius, yang memang sudah kebiasaannya.

"Dimaja, soal ulangannya ada di meja kamu, bukan di samping meja teman kamu. Apa kamu merasa kurang dengan soal ulangannya?" katanya dengan nada mendayu. Kami semua tertawa pelan ketika Bu Amelia menangkap basah Dimaja yang sedang menyontek pada Zaldi.

"Jangan pikir Ibu tidak tahu kalau kalian sedang menyontek. Itu lagi, Dimas Pra, kode-kodean mulu." Kami menoleh ke arah meja Dimas Pra. Anak itu hanya tersenyum canggung.

"Ini kenapa sih, pada contek-contekan? Padahal kalian itu terkenal jadi murid teladan bagi kelas lain, loh. Ternyata aslinya seperti ini." Mungkin sampai dua jam ke depan kami akan mendengar keluhan Bu Amelia sambil mengerjakan soal, lalu beliau meninggalkan mejanya dan berjalan ke arah barisan mejanya Dwandra. Dimas Pra, Dimaja, dan Yahya, mereka satu barisan ke depan.

"Ini lagi, potongan rambut macam apa ini, Dimas Pra?" Tidak ada hal menarik lain selain mengomentari rambut orang. "Besok, Ibu harap kamu potong rambut. Jangan dikuncir seperti ini. Tidak rapi." Dimas Pra hanya mengiyakan peringatan Bu Amelia.

Sepanjang kami mengerjakan soal, hanya suara Bu Amelia yang terus terdengar berbicara. Ini menjadi backsound yang memecahkan fokus kami.

Lagi-lagi Dwandra berdesis memanggil orang. Aku malah menoleh.

"Azfa," matanya berbinar ketika aku menoleh. Tidak salah lagi dia ingin menyontek. Aku bisa hitung mundur dari angka tiga, dua, dan satu.

"Nomor lima belas dan tujuh belas," katanya dengan suara rendah. Dwandra duduk di meja nomor tiga di samping barisanku. Tebakanku tidak meleset sedikit pun.

"B dan D," kataku dengan lirih, mengangkat dan menggerakkan jemari menunjukkan dua jari sebagai B dan empat jari sebagai D. Dua huruf itu jika diucapkan terkadang suka keliru. Dwandra mengucap terima kasih dan menulis jawabannya. Aku segera fokus pada lembar jawabanku lagi. Masih ada sepuluh soal pilihan ganda yang belum aku kerjakan.

Yahya duduk tepat di depan meja pengawas. Anak itu dengan sengaja memamerkan lembar jawabannya yang sudah terisi semua. Dia tersenyum lebar ke arahku. Entah kenapa tempat duduk kami selalu berdekatan. Aku hanya menjawabnya dengan mengangkat ibu jari tanpa menatapnya. Anak itu tertawa mengejek.

Aku kesal sekali dengan orang-orang yang sengaja mengumpulkan jawabannya lebih dulu bertujuan untuk memecahkan fokus kami yang sedang mencoba mengingat jawaban. Dan Yahya, dengan wajah tengilnya, telah berhasil mengumpulkan jawabannya lebih dulu. Anak itu segera keluar dari ruang kelas.

Sepuluh menit berlalu, aku sudah menyelesaikannya dan kembali mengoreksi. Aku harap nilai kimiaku baik-baik saja. Dulu waktu SMP, aku suka sekali dengan kimia, karena materinya tidak terlalu banyak karena di-mix dengan materi biologi, tapi setelah masuk SMA, hanya melihat huruf dan angka rumus kimia membuat kepalaku pusing. Untungnya aku masih berada di angka yang sangat aman.

Aku sengaja tidak mengumpulkan lebih dulu, aku sengaja menunda waktu mengumpulkan setelah banyak yang mengumpulkan.

Aku meregangkan tangan, Puput memberikan lembar jawabannya padaku. Aku mengerutkan dahi. "Kak, bentar dulu ya, jangan dikumpulkan dulu. Nunggu aku selesai. Coba tolong koreksi jawaban aku dong, takutnya ada yang salah." Aku menurutinya dengan mengambil lembar jawabannya itu setelah menutup lembar jawabanku lebih dulu. Aku mulai mengoreksi jawaban dan soalnya.

Beberapa nomor yang aku koreksi benar semua, mungkin sekitar tujuh soal pilihan ganda. Tapi selanjutnya aku berhenti mengoreksi ketika Puput seperti memberikan kode pada orang lain. Aku mengikuti arah mata Puput yang memberikan kode pada seseorang.

Dwandra.

Aku segera mengambil jawabanku yang tengah dipegang Puput. Aku menatapnya dengan tajam, memainkan kedua alisku. Anak itu terpaksa tersenyum.

"Sudah berapa jawaban yang kamu berikan pada Dwandra?" tanyaku mengintimidasi.

"Aku tidak memberikan jawaban apa pun," elaknya.

"Apa kamu sedang mencoba berbohong? Kalau kamu tidak memberikannya, untuk apa kamu memegang lembar jawabku dan menatap Dwandra?"

"Percayalah, aku tidak memberikan jawaban Kakak ke Kak Dwandra."

"Oh ya, tapi kenapa kamu jadi gugup? Bukankah itu salah satu ekspresi yang digunakan saat orang yang sedang berbohong untuk menyembunyikan sesuatu?" Wajah Puput berubah pucat. "Berapa?"

"Lima soal." Akhirnya anak ini berkata jujur setelah aku memaksanya.

Lihat selengkapnya